1/13/2013 08:30:00 AM
0

1357971741486201331
Roy Suryo, Menpora yang pengangkatannya banyak menuai penolakan publik (Sumber Photo : TV One di Gedung DPR)


Roy Suryo yang baru-baru dikabarkan menjadi Menpora baru menggantikan Andi Mallarangeng yang mundur karena  terlibat kasus korupsi Hambalang, menjadi ledakan opini yang luar biasa pada awal tahun 2013, bagaimana tidak, Roy Suryo  amat tidak disukai oleh kelompok ahli IT,  Roy juga sering membuat kontroversi, salah satunya adalah keculunan dia saat naik pesawat Lion Air, yang kemudian disorakin oleh hampir seluruh penumpang pesawat.
Ketokohan Roy Suryo harus diakui berbanding terbalik dengan kepopuleran Jokowi, Roy naik jabatan bukan karena torehan prestasinya, pemikirannya soal Olahraga dan Kepemudaan tapi lebih karena Roy dianggap dikenal di kalangan publik, sampai saat ini  publik belum mengetahui apa visi Presiden SBY mengangkat Roy yang dinilai publik keputusan pengangkatan Menteri yang amat ngawur, situasi yang amat berbeda saat Presiden SBY mengangkat Nafsiah Ben Mboy sebagai Menteri Kesehatan, yang pengangkatannya dipuji banyak orang karena berdasarkan prestasi Nafsiah di masa lalu.
Konflik pengangkatan Menteri sebenarnya tidak terjadi di jaman SBY saja, banyak catatan pengangkatan Menteri yang kemudian menimbulkan konflik tapi juga situasi-situasi lucu.   Dulu di jaman Revolusi 1945, konflik pengangkatan Menteri yang paling kontroversial justru adalah pengangkatan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri, bagi banyak analis sejarah pengangkatan Sjahrir sebagai Perdana Menteri merupakan sebuah ’silent coup‘ atau ‘kudeta senyap’ bagi kepemimpinan Sukarno dimasa revolusi 1945.
Negara UUD 1945 saat itu menghendaki sistem pemerintahan Presidensial, tapi Sukarno dengan aneh menyetujui posisi Perdana Menteri, pertimbangan Sukarno karena ia mengetahui Sjahrir dekat dengan Inggris yang merupakan kartu truf untuk menghadapi Belanda, sementara nama Sukarno sudah didengung-dengungkan oleh Pemerintahan Pengasingan Hindia Belanda di Australia sebagai seorang ‘Penjahat Kolaborator’.
Sjahrir dicatat sebagai ‘Menteri Besar’ yang pengangkatannya menimbulkan konflik, pengangkatan Sjahrir ini kelak akan dibuntuti oleh banyak peristiwa, seperti Penangkapan Tan Malaka di tahun 1946, pecahnya kongsi politik Sjahrir dan Amir sampai pada pencaplokan posisi Perdana Menteri oleh Hatta untuk menstabilkan keadaan.
Selain Sutan Sjahrir, kontroversi pengangkatan Menteri terjadi pada saat Bung Karno menjalankan politik Demokrasi Terpimpin. Ceritanya begini, setelah pengunduran Hatta pada tahun 1956, Bung Karno menolak ada posisi jabatan Wakil Presiden, Bung Karno sampai tiga kali meminta Hatta mengurungkan untuk mundur. Di satu saat Bung Karno berkonsultasi dengan banyak kawannya termasuk Muhammad Yamin dan Roeslan Abdulgani tentang posisi Hatta.  Pada diskusi politik itu, Roeslan mengabarkan bahwa Hatta masih amat dicintai oleh orang-orang politik di Parlemen.  Sementara Bung Karno sendiri-pun menganggap Hatta adalah “Orang Nomor Dua Selamanya”, kata Bung Karno “Tidak boleh ada orang yang namanya setelah namaku kecuali nama Hatta karena kami adalah Dwitunggal”.
Lantas Yamin mengusulkan, posisi Wakil Presiden dilangsungkan saja menjadi posisi Perdana Menteri, saat itu memang sistem pemerintahan kita adalah parlementer dimana kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri,  Ir. Djuanda yang jadi Perdana Menteri kemudian menjadi ‘orang yang bekerja keras dibalik Sukarno’. Selama pemerintahan Djuanda, Indonesia diuntungkan dengan masuknya dana pampasan Djepang dan membangun banyak monumen, Hotel dan Jembatan, selain itu ada dana bantuan dari Sovjet Uni dan Amerika Serikat.
Namun kelancaran Pemerintahan Djuanda ini, kemudian mandeg setelah tiba-tiba Djuanda meninggal. Nah disinilah kemudian Partai-Partai berebutan masuk untuk mempengaruhi Bung Karno. Di kalangan Partai Murba, sebuah Partai Komunis berorientasi Nasionalis-Tan Malakais, mendorong agar bertindak cepat mendekati Bung Karno. Adam Malik yang disukai Bung Karno pada waktu itu melobi Bung Karno untuk memasukkan salah satu kader Murba. Bung Karno tau bahwa ada salah satu kader Murba yang bisa menandingi kepopuleran Jenderal Nasution, kader itu bernama Chaerul Saleh, eks warlord di sekitar wilayah Karawang, orang yang juga pernah memimpin laskar bambu runtjing sebuah laskar rakyat yang paling disegani oleh TNI. Chaerul Saleh tidak disukai oleh Nasution, namun Bung Karno perlu Chaerul untuk melobi Jerman Barat untuk bantuan konsultasi industri berat.  Selain Chaerul, Bung Karno mengangkat Subandrio sebagai salah satu pembantunya, Bandrio ini amat berjasa saat perebutan Irian Barat, taktiknya untuk melobi Inggris lewat jaringan politik Ratu Elizabeth II dan juga memanfaatkan hubungan baik dengan pemerintahan JF.Kennedy berhasil mempecundang Perdana Menteri Belanda, Luns di depan dunia Internasional. Sementara Leimena digunakan Sukarno untuk menjaga batas persaingan Chaerul dan Bandrio.
Ada cara unik Bung Karno mengangkat tiga orang ini menjadi Waperdam yaitu Bung Karno meminta masing-masing menarik korek api, Bandrio mendapatkan bagian pentol yang dipotong, Leimena mendapatkan potongannya dan Chaerul Saleh satu pentol utuh, Bung Karno sendiri yang kemudian meminta mereka masing-masing mengangkat batang korek api itu dari tangan Bung Karno, kemudian terpilihlah Bandrio jadi Waperdam I, Leimena Waperdam II dan Chaerul Saleh Waperdam III berdasarkan tarikan batang korek api.
Kontroversi ketiga dalam pengangkatan Menteri adalah diangkatnya Mayor Syafe’i sebagai Menteri dalam Kabinet Bung Karno di saat situasi amat kritis, yaitu : Setelah Gestapu Untung 1965.  Asal tahu saja, Syafe’i adalah Boss copet Pasar Senen, dia punya geng yang amat ditakuti di Pasar Senen namanya : Geng Kobra. Di masa revolusi 1945, copet senen itu menjadi salah satu gerilyawan yang paling ditakuti pasukan Tijger Belanda, Sjafe’i bikin laskarnya sendiri yang banyak menyerang tangsi KNIL Belanda di sekitaran Kwini, salah satu pertempuran terkenal Sjafe’i adalah serangan Februari 1946, yang kemudian membuat marah Belanda dan Belanda membalas dengan patroli lalu menembaki rumah Bung Karno di Pegangsaan dan memberondong mobil Sutan Sjahrir yang saat itu sedang melintas di Salemba ke arah lapangan tenis di dekat laboratorium biologi Sekolah Kedokteran.
Bung Karno berharap pengangkatan Sjafe’i ini akan meredam protes-protes mahasiswa di Djakarta yang dinilai mangkin kurang ajar. Namun pengangkatan Sjafe’i ini menjadi olok-olok mahasiswa, nyanyian olok-olok ini dinyanyikan sepanjang jalan saat mahasis demo “Tek kotek kotek kotek koteeek, ada menteri kok tukang copet”…….
135797189534721128
Suasana Pengangkatan Mayor Syafe


Pada masa Suharto pengangkatan menteri yang agak kontroversial namun tidak menghebohkan masyarakat adalah pengangkatan BJ Habibie, saat itu Habibie adalah anak muda yang dibawa Ibnu Sutowo pulang dari Jerman Barat. Ibnu meminta Habibie pulang untuk membantu Pak Harto. Apalagi waktu kecil Habibie sudah mengenal Pak Harto, karena Pak Harto adalah sahabat dari keluarganya di Pare-Pare Sulawesi Selatan, saat Pak Harto menumpas pasukan separatis disana. Nah, pengangkatan Habibie dikabarkan tidak disenangi oleh M Jusuf, karena sebelumnya ada insiden dimana M Jusuf ditolak oleh BJ Habibie saat M Jusuf meminta blue print yang dibuat oleh Habibie soal rencana alur pengembangan industri berat nasional,  M Jusuf tersinggung dan melapor ke Pak Harto. Dalam buku biografi M Jusuf hal ini pernah diceritakan sekilas, juga dalam buku biografi BJ Habibie.
13579720231332543521
Pak Harto dan Harmoko, Sebagai Menteri Harmoko adalah Ikon Terbesar Orde Baru (Sumber Photo : Kompas)


Menteri yang kemudian menghebohkan publik saat itu adalah pengangkatan Harmoko sebagai Menteri Penerangan,  bagaimana tidak menteri penerangan sebelumnya adalah Ali Moertopo, seorang Jenderal veteran yang paling berpengaruh selama Orde Baru, Ali juga dikenal sebagai Boss Intelijen. Harmoko rupanya mendapat pesan dari jabatannya untuk berperang dengan rekan-rekannya sendiri sesama wartawan.
Pak Harto sudah memperhatikan Harmoko sejak tahun 1974 jamannya bentrok PWI antara kubu Rosihan dengan kubu BM Diah, orang ini dinilai Pak Harto memiliki naluri tempur menghadapi rekan seprofesinya dan juga dianggap mampu mengkooptasi pers menjadi bagian dari negara serta tidak bertindak oposan, Harmoko yang merupakan wartawan dan juga dijuluki bagian dari ‘seniman gelandangan pasar senen’ karena kemampuannya membuat gambar karikatur menjadi musuh banyak wartawan saat itu. Salah satu orang yang membenci Harmoko adalah Goenawan Mohammad atau dikenal GM seorang pemred TEMPO yang kelak juga menjadi korban kebringasan bredel Harmoko. GM pernah membuat sebuah anekdot yang lucu saat Harmoko digambarkan tidak lagi menjadi Menteri Penerangan, anekdot yang menggambarkan seorang bertanya berkali-kali kebenaran Harmoko dicopot dari jabatannya karena saking gembiranya. Walaupun Harmoko menjadi musuh banyak rekan seprofesinya, namun ia amat lihai membesarkan Golkar, di tahun 1997 Golkar mengalami kemenangan politik yang luar biasa besar, bahkan persentasenya sesuai dengan angka hari, bulan dan tahun kelahirannya. Namun keberhasilan Harmoko tidak dihargai oleh Pak Harto, Harmoko yang berharap menjabat jadi Wakil Presiden dan bermimpi sebagai Putera Mahkota Pak Harto kandas setelah Pak Harto memilih BJ Habibie sebagai Wakil Presidennya, namun tak pelak Harmoko adalah salah satu ikon .
Yang paling seru sebenarnya adalah kisah pengangkatan Jenderal Benny Moerdani sebagai Panglima TNI, waktu itu Pak Harto mendapatkan kabar dan data-data dari pihak lain bahwa posisi M Jusuf amat kuat, dia disegani banyak tentara karena hampir tiap hari dia keliling daerah mengunjungi prajurit TNI, agenda kerja “AMD/ ABRI Masuk Desa” menjadi agenda paling populer bagi rakyat Indonesia, hampir tiap acara berita : kunjungan M Jusuf selalu jadi berita. Laporan-laporan yang kemudian dipelintir bahwa M Jusuf akan menjadi rivaal bagi Pak Harto membuat Pak Harto mengambil keputusan untuk menggantikan posisi Jusuf dengan LB Moerdani, pengangkatan Jenderal Benny ini kemudian memancing seorang mayor muda untuk menolak pengangkatan Jenderal Benny, bahkan kabarnya sang Mayor itu menerobos masuk ke rumah Benny untuk memata-matai. Tindakan nekat ini diceritakan dalam buku biografi M Jusuf.
Berbeda dengan Bung Karno yang selalu menyuruh ajudannya untuk menanyakan kesediaan seseorang menjadi Menteri, di jaman Pak Harto biasanya tiga hari sebelum pengumuman posisi menteri menjadi hal yang paling menegangkan bagi banyak kandidat, konon kabarnya banyak pejabat yang stress menunggui telepon rumah karena adalah kebiasaan bagi Pak Harto menelepon langsung ke rumah orang yang akan dijadikan Menteri, dan biasanya sang calon melarang keluarganya untuk memakai telpon rumah selama masa penantian tersebut, cerita ini menjadi anekdot dikalangan keluarga pejabat pada saat itu.
Harus diakui baik Bung Karno maupun Pak Harto mengangkat seseorang menjadi Menteri lewat kemampuannya membaca keadaan, walaupun kadang-kadang pengangkatan itu menjadi posisi yang serba salah seperti kasus Mayor Syafe’i atau kasus di jaman Orde Baru tentang Billy Judono. Namun baik Bung Karno dan Pak Harto, tidak terkesan sembarangan mengangkat posisi Menteri, seperti SBY yang terkesan sembrono mengangkat Roy Suryo menjadi Menpora.
-Anton DH Nugrahanto-. 

SUMBER

0 comments:

Post a Comment