1/14/2013 10:30:00 AM
0
Tadi malam saya sempat berbincang-bincang dengan seorang kawan tentang rencananya berwisata ke Swedia saat cuti bulan Maret nanti. Kawan ini, yang berasal dari Mesir, memang sudah beberapa tahun ini menjalin hubungan dengan seorang gadis berkebangsaan Swedia dan perjalanan ke negara Skandinavia tersebut selain untuk plesiran sekaligus juga untuk meminang sang gadis pada orang tuanya. Walaupun sudah cukup lama berhubungan, namun tak ayal ia masih agak khawatir jika keinginannya menikahi sang pujaan hati tidak direstui oleh orang tua yang bersangkutan. Sebab utamanya adalah perbedaan agama.
13579569821547833299
Isyana Bagoes Oka - produk kawin campur yang juga menikah beda agama (sumber: hot.detik.com)
Walaupun rekan ini mengaku bahwa ia tidak akan meminta sang kekasih menjadi mualaf (berbeda dengan di Indonesia, di jazirah Arab pendapat yang memperbolehkan seorang pria Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab cukup sering saya temui) namun ia menginginkan anak-cucunya nanti dididik secara Islam. Sang calon istri sendiri sudah setuju, demikian pula sang calon mertua perempuan sudah memberikan restunya. Hanya calon ayah mertuanya yang belum memberikan lampu hijau. “Kenapa kamu takut?” saya bertanya. Ia pun menjawab singkat, “Kamu tahu kan bagaimana pandangan mereka terhadap orang Islam, apalagi yang berasal dari Arab seperti saya ini.” Saya pun berusaha menenangkan, “Tidak perlu khawatir. Beri mereka waktu untuk mengenalmu lebih jauh. Saya yakin kalau mereka sudah tahu sifat-sifatmu, mereka tentu akan merestui.”
Menikah beda agama dan beda bangsa memang merupakan suatu fenomena yang cukup jamak saya temukan di Dubai, kota tempat saya tinggal beberapa tahun belakangan ini. Tidak heran, mengingat di kota kecil ini terdapat lebih dari 150 kewarganegaraan yang tentunya juga beragam latar belakang budaya dan agamanya. Di kantor saya sendiri (yang jumlah karyawannya sekitar 90 orang) terdapat kurang lebih 30 kewarganegaraan yang berbeda (akan saya tulis mengenainya di lain hari), dan beberapa di antaranya melakukan kawin campur. Ada pasangan India - Filipina, Mesir - Rusia, Lebanon - Uzbekistan, Afrika Selatan - Cina (ada dua pasangan), Kenya - Cina, Tunisia - Belgia, dan sebagainya. Pimpinan kantor kami sendiri yang orang Inggris menikah dengan orang Belanda (walaupun kemudian bercerai).
Sudah tentu di antara mereka yang kawin campur tersebut ada yang berbeda keimanannya (saya ganti kata “agama” dengan “keimanan” karena ada juga yang tidak beragama), dan biasanya salah satunya akan mengikuti agama pasangannya, misalnya rekan kami seorang warga negara Cina yang bersuamikan seorang Muslim dari Kenya. Bukan hanya memeluk agama sang suami, rekan ini juga kini mengenakan jilbab, bahkan abaya (jubah hitam panjang yang merupakan pakaian tradisional wanita di sini). Namun ada juga yang tetap teguh berpegang pada keyakinannya masing-masing, misalnya teman saya orang India yang beristrikan orang Filipina. Mereka menikah dua kali, di India dengan prosesi agama Hindu dan di Filipina dengan prosesi gerejawi. Di mobil dan rumah mereka pun terdapat ornamen dari kedua agama.
Kebetulan pernikahan beda agama juga merupakan sesuatu yang tidak asing dalam keluarga kami. Orang tua saya menikah beda agama (keduanya masih menganut agama masing-masing hingga saat ini), kakak saya juga baru saja menikah dengan penganut agama yang berbeda (istrinya mengikuti). Permaisuri hati saya juga adalah seorang agnostik yang secara formal tidak memeluk agama apapun (catatan: kami belum menikah). Di lingkungan keluarga besar kami (baik dari pihak ayah maupun ibu) pun ada beberapa paman, bibi, dan sepupu yang menikah lintas agama.
13579567202147140347
500questions.wordpress.com
Saya tidak tahu (dan tidak merasa perlu tahu) bagaimana perilaku keagamaan mereka sebelum menikah. Tapi pada umumnya memang dalam pernikahan beda agama, terjadi tarik ulur kepentingan. Entah karena keinginan keluarga masing-masing, keinginan mempelai sendiri, atau karena peraturan pemerintah yang memang hanya mengakui pernikahan seagama.

Saya sendiri percaya bahwa agama adalah soal rasa, tidak bisa dipaksakan kepada siapapun, dan oleh karenanya saya tidak setuju dengan UU Perkawinan yang mensyaratkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah hanya jika ia sah secara agama, yang menyiratkan bahwa kedua belah pihak harus memeluk agama yang sama.  Bagi saya tidak ada artinya seorang suami atau istri berpindah agama secara formal hanya supaya mereka dapat menikah secara sah di mata agama dan negara. Kebetulan ada beberapa kenalan saya yang menikah dengan WNA yang tidak religius. Supaya sah menurut agama dan hukum negara, para WNA ini pun menyatakan diri memeluk agama pasangannya. Namun yang berubah hanya identitas formalnya saja, perilakunya tidak berubah sama sekali, ibadah wajib pun tidak dikerjakan. Bukankah ini justru melecehkan agama?
Tetapi entah kenapa banyak orang bangga kalau suami atau istrinya mengikuti agamanya, walaupun hanya di atas kertas atau pada hari-hari raya saja, seakan-akan hal seperti itu adalah sebuah prestasi. Apakah ini karena sedari kecil kita dididik mengenai pentingnya beragama, walaupun hanya sebatas identitas atau bahkan kedok sosial? Atau karena dengan demikian kita merasa berkuasa atas diri pasangan?
13579571681319218836
Cinta Tapi Beda - sebuah film kontroversial yang mengangkat kisah romansa beda agama (sumber: kapanlagi.com)

Saya sendiri terus terang bukan penganut agama yang sangat taat. Sampai sekarang ibadah saya masih banyak bolongnya, pengetahuan agama saya juga masih jauh dari sempurna, hal-hal yang tidak dianjurkan dalam agama pun masih banyak yang saya lakukan, sementara yang dianjurkan banyak yang tidak dilakukan. Jelas bukan contoh yang baik! Dan selama bertahun-tahun saya menjalani kesemuanya itu tanpa beban dan tanpa rasa bersalah.
Pandangan saya mulai berubah ketika sang permaisuri mulai tertarik terhadap ritual-ritual yang saya lakukan (walaupun saat itu saya melakukannya hanya karena kebiasaan, yang lagi-lagi lebih banyak bolongnya), termasuk ketika saya menjalankan ibadah puasa atau ketika saya berdoa sebelum makan. Malah sering kali ia ikut mengingatkan, “Kamu tidak berdoa dulu?” Suatu ketika saya pernah bersembahyang agak lama karena kebetulan sedang banyak pikiran (nah kan, kalau sedang ada masalah baru ingat Yang di Atas!) ia pun bertanya, “Hari ini kamu berdoa apa, kok lama sekali?”
Di saat-saat seperti itu saya merasa tersentak sekaligus malu, seakan sedang ditegur langsung oleh Tuhan. Betapa saya yang mengaku beragama ini ternyata tidak bisa mempertanggungjawabkan agama yang saya pilih sendiri di hadapan manusia, apalagi di hadapan Tuhan. Bagaimana nantinya setelah saya berkeluarga? Padahal sebagai calon kepala keluarga, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk mendidik keluarga saya sesuai dengan norma-norma agama yang saya anut, setidaknya menunjukkan contoh yang baik bagi istri dan anak-anak saya. Bukan sekadar mendikte mereka tentang tata cara beribadah atau ribut-ribut hanya pada hari-hari raya tertentu saja, atau bahkan hanya sebagai pengisi kolom di KTP, tetapi memberikan keteladanan yang terinspirasi oleh agama saya tersebut. Jangan lupa, pandangan mereka terhadap karakter Anda akan membentuk pandangan mereka terhadap agama Anda!
Sedikit menyimpang dari topik cerita, bertahun-tahun lalu, saya pernah didatangi seorang kenalan yang dengan antusias menyampaikan kepada saya bahwa ia baru saja memeluk agama yang sama dengan saya beberapa hari sebelumnya. Saya terkejut, karena tiga hal: pertama, kami tidak begitu dekat, bahkan tidak pernah berbincang-bincang sebelumnya, hanya sekedar bertukar salam dan basa-basi, dan bagi saya beragama adalah suatu hal yang sangat pribadi sifatnya, kedua, saya tidak pernah menduga bahwa ia adalah seseorang yang akan pindah agama (mungkin karena ketidakakraban kami tadi), dan ketiga, kenapa saya?
Usut punya usut, ternyata saya adalah salah seorang dari sedikit orang yang ia ketahui seiman dan menurut pandangannya, saya adalah seseorang yang mampu memberikan bimbingan dalam agamanya yang baru dipeluknya itu. Padahal kehidupan saya saat itu sangat jauh dari religius, dalam artian saya jarang beribadah baik di rumah maupun di tempat ibadah setempat, walaupun memang saya selalu berusaha untuk menjaga tingkah laku saya sehari-hari (sama seperti kebanyakan orang pada umumnya!)
Itulah untuk pertama kalinya saya mulai tersadar bahwa orang menilai agama kita bukan dari ayat-ayat suci yang kita kumandangkan, bukan dari nada dering telepon genggam kita yang berirama agamis, bukan dari berbagai istilah suci yang kita ucapkan. Bukan! Mereka menilai agama kita dari perilaku kita sehari-hari. Tidak lebih dan tidak kurang.
Sekadar contoh lain, saya pernah memiliki seorang rekan kerja yang luar biasa religiusnya. Ia senantiasa menyisipkan berbagai idiom keagamaan dalam kata-katanya, pakaian dan aksesorinya menonjolkan simbol-simbol agamanya, bahkan ia seringkali mengirimkan berbagai tautan artikel-artikel agamanya ke rekan-rekan kerja lainnya, termasuk yang tidak seagama (termasuk saya). Namun di lain banyak perilakunya di tempat kerja yang tidak mencerminkan profesionalisme, dari datang terlambat, menolak ikut memberikan urunan (walaupun secara halus), menunda-nunda pekerjaan, dan sebagainya. Akibatnya berbagai pesan-pesan keagamaan yang disampaikannya menjadi kontra produktif, bahkan dijadikan bahan cemoohan. Padahal kalau saja ia mengikuti pesan Mahatma Gandhi berikut ini, “Bunga mawar tidak perlu berkhotbah. Ia hanya menebarkan wewangiannya. Aroma itu adalah suatu khotbah tersendiri… aroma kesalehan dan kehidupan spiritual jauh lebih halus dari wewangian bunga mawar,” saya yakin akan semakin banyak orang yang tertarik mendengarkan pesan-pesan agamisnya tadi.

13579573531795331506
Mahatma Gandhi - tokoh Hindu India yang banyak mengutip ajaran-ajaran Alkitab dalam pesan-pesannya (sumber: ivanfoo.blogspot.com)
Demikian pula halnya dengan pasangan kita. Kalau Anda termasuk salah seorang yang beruntung memiliki pasangan yang mau mengikuti agama Anda (baik sukarela maupun terpaksa), mari kita membimbing mereka dengan baik. Jangan lupa, untuk memutuskan memeluk sebuah keyakinan yang baru (dan bahkan mungkin sama sekali asing), mereka tentu mengalami pergumulan yang tidak ringan, baik dengan keluarga atau lingkungan sosialnya, maupun dengan diri sendiri. Mari kita yakinkan mereka bahwa pilihan mereka itu bukan sebuah pilihan yang keliru, melainkan sebuah pilihan yang memberikan manfaat, baik dalam kehidupan saat ini maupun kehidupan yang akan datang. Semoga.
(Terlampir doa agar rekan saya di atas sukses dalam misinya meluluhkan hati sang calon mertua!)

0 comments:

Post a Comment