Ramadhan telah usai.
Ini sudah biasa. Seperti juga bulan-bulan lainnya. Jika Ramadhan bisa usai, maka Syawal pun bisa usai. Demikian pula dengan bulan Besar, bulan Muharam dan bulan-bulan lainnya.
Seperti yang sudah-sudah.
Kala datang Ramadhan, terjadi gegap gempita penyambutan. Koreksi dan
saling menasehati menjadi isi cerita setiap hari. Tentang bagaimana
seharusnya umat melakukan tidur dan terjaga selama dalam Ramadhan.
Kini, begitu Ramadhan pergi, nasehat pun berganti. Bukan lagi gegap gempita soal bagaimana seharusnya tidur dan terjaga saat malam hari. Namun, lebih kepada, saling mengkoreksi bagaimana
seharusnya saling mengucapkan selamat yang baik dan benar, seiring
datangnya bulan Syawal. Saling mengkoreksi bagaimana seharusnya umat
meminta maaf. Juga dikoreksi,
betapa salah (kaprahnya) pengucapan-pengucapan oleh kebanyakan umat
selama ini. Juga dikoreksi, betapa salahnya umat mengucap Minal Aidin
wal fa’idzin, mohon maaf lahir batin.
Ini terjadi setiap tahun dan diulang-ulang saja.
Dan ini kemudian, membuat saya mencoba merenung tentang sebuah keindahan yang mudah-mudahan baru.
Bila hidup tidak bergantung pada Ramadhan dan Syawal, maka, barangkali yang terjadi hanyalah keinginan memperbaiki hidup setiap hari.
Tidak peduli apakah
itu Ramadhan atau bukan Ramadhan. Tidak peduli apakah itu didalam atau
diluar Syawal. Semua bulan menjadi sama indahnya untuk beribadah. Setiap
hari menjadi sama pentingnya untuk diwarnai dengan doa-doa. Pagi,
siang, petang dan malam.
Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan sepanjang tahun dan sepanjang kehidupan menjadi selalu indah saja dalam melakukan ibadah yang motifnya adalah hanya, karena dan untuk Allah. Bukan karena dan untuk pahala atau yang lainnya.
Setiap ibadah menjadi tidak didorong-dorong oleh keinginan mendapat balas jasa,
karena balas jasa Allah, sama sekali tidak perlu diragukan. Sama sekali
tidak perlu dikhawatirkan selama perintahNya dijalankan dengan baik.
Jika
memang menganggap Ramadhan dan Syawal itu adalah bulan baik, bulan suci
dan bulan besar, lantas mengapa tidak dijadikan saja amalan Ramadhan
dan Syawal sebagai pekerjaan/amalan harian saja. Sehingga tidak
perlu perdebatan yang saling meninggikan atau merendahkan pengetahuan
tentang mereka. Doa malam, tadarus, mengaji, mengkaji, sedekah, “zakat”,
saling memberi, saling memaafkan dijadikan kegiatan harian. Selesai.
Jika amalan Ramadhan maupun Syawal dipilih menjadi amalan/pekerjaan harian, maka dalam setiap moment lebaran/Idul Fitri/Hari Raya, tidak perlu lagi ada euphoria atau sikap berlebih-lebihan dalam menyongsongnya.
Tak perlu ada luka dan
kematian akibat terinjak-injak saat berebut zakat. Harga-harga menjadi
terkontrol. Sistem perekonomian menjadi baik-baik saja. Kemiskinan dan
pengangguran bisa teratasi. Begitu apa yang saya pikirkan.
Terima kasih sudah
membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih kepada semua tulisan yang
menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!
Catatan:
Jika dalam tulisan ini
disinggung tentang amalan Ramadhan yang bisa dikerjakan setiap hari,
maka yang dimaksud penulis adalah amalan selain “PUASA”, sebab tidak
boleh berpuasa setiap hari, sepanjang tahun, sepanjang hidup.
0 comments:
Post a Comment