8/27/2012 04:31:00 PM
0

m27
Foto: Agus Sektiawan (atas) dan Sri Nugroho (bawah)
SULTAN Agung Hanyokrokusumo banyak memberi warna Islam di Mataram (1613-1645). Raja besar itu berhasil memadukan dengan jarmonis tradisi-budaya Islam yang diwariskan oleh para wali dengan tradisi Hindu-kejawen yang telah lama tumbuh dan hidup dalam masyarakat Jawa. Salah satunya adalah tradisi menyambut malam Lailatul Qadar –masyarakat Jawa menyebutnya malam selikuran, yaitu ritual pada malam-malam tanggal  ganjil pada sepertiga terakhir bulan Ramadan. Tak hanya Sultan Agung, para penerusnya pun tetap melestarikan tradisi malam selikuran bahkan ketika kerajaan terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Itlah sebabnya di masyarakat pedesaan wilayah Yogyakarta dan Surakarta, tradisi malam selikuran ini tetap terrpelihara hingga kini.
Lewat tembang Dandanggula” dalam ”Serat Wulengreh”, Paku Buwono (PB) IV sangat mengagungkan peristiwa Lailatul Qadar. Lebih dari 200 tahun silam, Raja Surakarta itu  menulis;    Jroning Quran nggoning rasa jati/ Nanging pilih wong kang uninga/Anjaba lawan tuduhe/Nora kena binawar/Ing satemah nora pinanggih/Mundhak katalanjukan/Temah sasar susur/Yen sirdayun waskitha/Kasampurnaning badanira puniki/Sira anggegurua.
Terjemahan bebasnya kira-kira adalah; Alquran adalah tempat rasa sejati. Namun tidak setiap orang bisa mengetahuinya, kecuali mereka yang tekun beribadah dan patuh kepada Allah SWT. Mereka yang ingkar tidak akan pernah menemukan cahaya seribu bulan, namun akan tersesat. Dengan waspada, kalian akan mendapatkan kesempurnaan, dan karena itu kalian harus berguru.
selikuran1
“Serat Wulangreh” sendiri merupakan ajaran yang menunjukkan kedalaman Alquran. Pada dua baris pertama tembang “Dandanggula” itu, misalnya, Sang Raja menuturkan tentang pentingnya penghayatan Alquran dan orang-orang terpilih yang memahaminya. Ungkapan itulah yang mengilhami masyarakat Jawa dalam menghayati Alquran, serta keyakinan adanya misteri “cahaya seribu bulan” yang turun pada malam Lailatul Qadar.
Tradisi malam selikuran di Keraton Kasunanan Surakarta, konon berpegang pada  “Serat Ambya”, di mana pada setiap tanggal ganjil mulai tanggal 21 Ramadan, Nabi Muhammad SAW turun dari Jabal Nur. Di Gunung Nur itulah Rasulullah menerima wahyu ayat-ayat Alquran dari Allah SWT.
Foto: Sri Nugroho
selikuranMalam selikuran atau puasa malam ke-21 tampaknya lebih istimewa di bandingkan malam-malam ganjil lain. Pada malam itukah    Keraton Kasunanan Surakarta menggelar ritual  “Hajad Dalem Selikuran” atau “Ting Hik”, sebuah ritual untuk menyambut datangnya malam Lailatul Qadar.
Ritual ini berupa arak-arakan arak-arakan para ulama keraton, sentana dalem maupun abdi dalem Keraton Surakarta yang membawa aneka sesaji dan lampu ting atau lampu teplok, dari halaman keraton menuju Taman Sriwedari,  sejauh sekitar 3 kilometer.  Di sepanjang jalan, para ulama melantunkan salawat dengan iringan rebana. Di barisan lain, para abdi dalem Keraton Surakarta yang membawa ting, meneriakkan ungkapan simbolik tong-tong-hik yang bermakna seruan kebaikan.
Foto: Agus Sektiawan

m299
Beberapa tahun lalu, prosesi ritual malam selikuran selalu digelar di kupel Segaran Sriwedari yang letaknya berada di tanah berbentuk bukit kecil di  di tengah kolam. Namun karena air kolam tak lagi jernih dan Taman Sriwedari tak lagi terawat, prosesi pindah ke pendapa. Di tempat itulah para ulama utusan Paku Buwono mengadakan kenduri. Para abdi dalem dan ulama menggelar doa bagi keselamatan bersama. Di sekitar pendapa itu pula ratusan warga menunggu.
“Ritual ini merupakan tradisi keraton untuk menyambut malam Lailatul Qadar. Seribu lampu ting yang dikirab ini merupakan simbol cahaya 1000 bulan yang selalu datang setiap tanggal ganjil bulan ramadhan puasa, khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadan,” kata KRA Winarno Kusumo, seorang kerabat keraton.
Lampu ting juga menjadi simbol ketika Nabi Muhammad menerima  wahyu berupa Alqur’an di Gunung Nur, sehingga pada malam itu menjadi benar-benar terang seperti siang hari. Sedangkan arak-arakan dari Keraton Surakarta menuju Sriwedari merupakan gambaran tentang para sahabat nabi saat membawa obor untuk menyambut turunnya Nabi Muhammad dari Gunung Nur sesaat setelah menerima wahyu.
Ritual “Ting Hik” ini diakhiri dengan ratusan warga yang berebut abeka sesaji berupa nasi tumpeng berikut lauknya.  Mereka kemudian  menyantap sesaji bersama-sama. Kalangan keraton dan seluruh masyarakat Jawa mengharapkan limpahan berkah dan anugrah, seperti yang telah diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw pada malam Lailatul Qadar.
selikuran2m25
“Kita meyakini berkah  itu, tapi  ini rahasia  Allah.”
Foto: Agus Sektiawan (bawah) dan Sri Nugroho (atas)
Di luar tembok keraton, masyarakat pedesaan di kota-kota sekitar Solo masih kukuh melestarikan tradisi menyambut Lalilatul Qadar ini, seperti Wonogiri, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen. Di masyarakat pedesaan, tradisi malam selikuran ini biasa disebut dengan Tradisi ini disebut rasulan. Setiap rumah di wilayah pedesaan biasanya membuat kenduri  berupa nasi urap dan dengan lauk sederhana pada setiap malam tanggal ganjil, mulai tanggal 21, 23, 25, 27, dan berakhir tanggal 29 Ramadan. Masing-masing keluarga kemudian membawa kenduri tersebut ke balai desa atau balai kampong dan meletakkannya secara berjajar di atas tikar.
Tokoh agama setempat akan memimpin doa keselamatan dengan harapan cahaya Lailatul Qadar akan memberkahi seluruh masyarakat desa. Begitu doa selesai, kenduri yang berjajar-jajar kemudian diputar layaknya kado silang, sehingga seseorang tidak akan membawa pulang kembali kenduri yang semula dibawa dari rumah.
Tradisi rasulan biasanya dilaksanakan pada sore hari menjelang matahari terbenam. Selepas pembagian kenduri, warga tidak langsung pulang. Mereka akan melakukan tirakatan sampai lewat tengah malam, menanti turunnya  malam Lailatul Qadar. Harapan yang besar kepada berkah Lalilatul Qadar yang diturunkan Allah SWT secara misterius itu tampaknya menjadi sebuah kekuatan mengapa  tradisi malam selikuran tetap lestari.

0 comments:

Post a Comment