8/25/2012 07:12:00 PM
0
OLEH Nasrul AzwarBisnis media massa memang menjanjikan untuk mengeruk keuntungan besar. Apalagi contentnya “menyosialisasikan” ke dalam ruang publik bentuk-bentuk tubuh yang seksi dengan pencitraan tubuh yang bagus tanpa lemak, sintal, padat, serta kekar. Tentu saja disajikan dengan sedikit kain pembungkus. Malah bisa juga bugil, tentu disuguhkan dalam berbagai pose. Citra bentuk tubuh yang seksi (tubuh perempuan dan lelaki) adalah polarisasi untuk menghadirkan mainstream bagi publik bahwa tubuh yang “aduhai” itu telah memenuhi standar pengelola media massa itu. Di ruang-ruang publik—baik di mailing list, medai elektronik, cetak, dan di mal— cerita tak lepas dari menunggu “lahirnya” sebuah majalah yang diimajinasikan mampu memenuhi aspirasi libido siapa saja. Majalah ini menamakan dirinya majalah dewasa yang memang telah lama terbit dan beredar di Amerika Serikat, Play Boy. Pada bulan Maret majalah Play Boy edisi Indonesia akan diluncurkan. Dua bulan dari sekarang, pro-kontra telah meruyak-piyak bak perang seperti akan dimulai. Play Boy versi Indonesia, yang masih jabang itu, menuai promosi maha dasyat. Ia jadi “benda” yang telah berhasil memenuhi kaidah pencitraan dan meraih brand image dagang. Satu sisi, strategi bisnis dan promosi Play Boy telah berjalan tanpa beriklan dengan biaya yang besar.
Negeri ini memang dibesarkan dengan cara dagang kapitalis yang busuk. Bangsa ini enggan belajar dari diri dan lingkungannya. Bangsa ini telah berada dalam perangkat mesin kapitalisme, dan mereka sendiri yang menggerakkan agar mesin itu bekerja.Sebelumnya, semenjak kran kebebasan terbuka lebar 6 tahun lalu, saat begitu maraknya penerbitan tabloid dan malajah yang content-nya tak jauh-jauh dari menjajakan tubuh telanjang manusia, tak ada reaksi sekeras akan terbitnya Play Boy versi Indonesia ini. Semua orang mengenal tabloid Exotica, Lelaki, Lipstik, Popular, ME, dan sejenis ini yang kini tetap beredar dan memang laris manis terjual. Untuk yang telah beredar demikin luas itu, yang tidak ada batasan jual belinya, boleh siapa saja, tidak ada reaksi dari siapa-siapa, malah oplahnya makin menanjak dari hari ke hari. Barangkali, awal terbitnya media ini dilakukan diam-diam. Beda dengan Play Boy, pengelolanya berani berteriak lantang: Kami akan terbit pada Maret.

0 comments:

Post a Comment