Belakangan ini, para orangtua diresahkan dengan penyakit yang disebut
sebagai flu singapura yang menyerang anak mereka. Penyakit yang dalam
bahasa kedokteran disebut penyakit tangan, kaki, dan mulut itu memang
mudah menular dengan gejala dan penampilan yang ”menakutkan”.
Salah satu penderita adalah Embun (6 bulan), warga Pamulang, Tangerang Selatan.
Sang ayah, Ilham (36), mengisahkan, putrinya demam 38 derajat celsius
dan muncul bintik-bintik merah kecil di tubuhnya. Ilham segera membawa
Embun ke dokter spesialis anak. Namun, saat itu dokter belum dapat
memastikan penyakit yang diderita Embun dan hanya memberi obat penurun
panas.
Setelah dua hari kondisi Embun tidak membaik, Ilham membawanya ke
dokter lain. Saat itu dokter anak menyatakan Embun terkena flu
singapura. Hal ini membuat Ilham mulai tenang.
”Saya pernah dengar tentang flu singapura, anak tetangga saya pernah
kena. Kata dokter, penyakit ini mudah sembuh. Namun, gejala awal seperti
demam dan bintik-bintik merah membuat kami khawatir dia terkena demam
berdarah dengue,” kata Ilham.
Bukan flu
Dokter spesialis anak, konsultan penyakit infeksi dan pediatri tropik
dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Alan R Tumbelaka menuturkan, ia kian sering menerima
pasien dengan gejala yang disebut masyarakat sebagai flu singapura itu.
Bayi dan anak berusia di bawah 10 tahun paling rentan terserang penyakit
itu. Orang dewasa dapat pula terinfeksi, tetapi tidak sampai
menunjukkan gejala lantaran daya tahan lebih kuat.
Penyebutan flu singapura, menurut Tumbelaka, tidak tepat. Dalam
bahasa kedokteran, penyakit itu disebut penyakit tangan, kaki, dan mulut
(PTKM). Tumbelaka menyatakan, penyakit itu tidak berasal dari
Singapura. Mengutip buku berjudul Mengenal Penyakit Tangan, Kaki dan
Mulut karya dr Sutaryo SpA, penyakit tersebut dikenal sejak tahun 1957
di Toronto, Kanada. Tahun 1980-an, penyakit itu muncul di Belanda,
Amerika, Australia, Swedia, Bulgaria, Hongaria, Jepang, Hongkong, China,
dan Singapura. Tahun 1997-1999, Malaysia dan Taiwan terserang, diikuti
dengan wabah di Singapura pada tahun 2000.
”Boleh jadi, ketika itu banyak warga Indonesia yang ke Singapura dan
tertular penyakit itu sehingga disebut flu singapura,” kata Tumbelaka.
Ia menambahkan, musim pancaroba menjadi masa paling rawan penyebaran
penyakit ini.
Penyebab PTKM adalah virus bernama Coxsackie dan kelompok enterovirus
lain. Keluarga besar enterovirus biasa hidup di enteron (usus). Virus
dari usus keluar melalui tinja yang kemudian mencemari air dan makanan.
Penularan dapat melalui kontak langsung dari orang ke orang melalui
cipratan cairan bersin atau batuk, air liur, atau tinja. Penularan
kontak tidak langsung melalui barang, handuk, baju, peralatan makanan,
dan mainan yang terkontaminasi. Begitu masuk ke dalam tubuh, virus
berkembang biak di dinding tenggorokan dan dinding usus lalu menyebar ke
organ yang disasar. Virus Coxsackie dan enterovirus tertentu memilih
kulit dan selaput lendir mulut sehingga biasanya tangan, kaki, dan mulut
yang diserang.
Penyebab PTKM yang paling sering adalah Coxsackie A16. Gangguannya
ringan sehingga pasien cukup berobat jalan. Adapun penderita yang
terserang Enterovirus 71 sering kali memerlukan perawatan karena
kondisinya lebih berat. Di Indonesia, menurut Tumbelaka, yang umum
menyerang adalah virus Coxsackie.
Gejala yang dialami pada awal penyakit, antara lain demam sekitar 2-3
hari, sakit tenggorokan dan mulut, lesu, batuk, pilek, dan nafsu makan
hilang. Muncul merah-merah di mulut dan diikuti bintik berisi cairan.
Ada yang menyerupai sariawan sehingga menimbulkan rasa sakit. Bintik
merah berisi cairan juga muncul di tangan dan kaki. Umumnya merah
kecil-kecil, tapi bisa juga lebar seperti eksim.
”Anak menjadi sulit tidur, rewel kesakitan, sulit menelan, dan tidak bisa makan,” kata Tumbelaka.
Gejala itu mirip serangan penyakit lain, seperti campak, cacar air,
atau sariawan. Orangtua disarankan berkonsultasi dengan dokter jika anak
mengalami gejala PTKM dan waspada dengan perubahan kondisi anak.
Terlebih jika anak menolak makan dan muntah terus.
Bisa sembuh tanpa obat
Tumbelaka mengatakan, gangguan akibat virus Coxsackie di Indonesia
umumnya ringan sehingga tidak membutuhkan pengobatan dan tidak
menimbulkan kematian. Seperti halnya penyakit akibat virus lain,
penyakit itu tidak ada obatnya. Kalaupun ada pasien yang dirawat,
umumnya karena pasien yang masih anak-anak itu tidak bisa makan dan
minum karena luka di mulut.
Dr Sutaryo SpA dalam bukunya menyebutkan, kesembuhan penyakit itu
cukup baik, sebagian besar, yakni 99,9 persen, akan sembuh sendiri
setelah 5-7 hari. Komplikasi seperti radang selaput otak, radang otak,
radang paru, radang otot jantung, dan radang selaput jantung jarang
terjadi.
”Di Indonesia, belum ada yang mengalami komplikasi berat. Berbeda
dengan di Eropa atau yang pernah terjadi di Sarawak yang jenis
enterovirusnya membawa akibat lebih parah,” kata Tumbelaka. Meski
demikian, anak dengan daya tahan tubuh sangat lemah atau berat badan
kurang dapat mengalami gejala lebih berat dibandingkan anak dengan
kondisi tubuh baik.
Penderita PTKM harus banyak beristirahat dan minum. Kekurangan minum
mengakibatkan selaput mulut kering dan rasa sakit bertambah. Kecukupan
air juga sangat penting bagi anak yang sedang menderita demam. Biasanya
penderita hanya diberi obat penghilang gejala, seperti obat penurun
demam. Namun, Tumbelaka mengingatkan, anak di bawah usia 12 tahun yang
terserang virus jangan diberi aspirin.
Untuk gangguan di kulit, menurut Tumbelaka, dapat ditaburkan bedak
yang berfungsi melapisi kulit sehingga kuman tidak menempel. Penderita
diperbolehkan mandi.
Untuk meringankan luka di mulut dapat diberikan obat antijamur. Obat
tersebut langsung diteteskan pada luka di mulut tanpa menggunakan air.
Anak yang terserang PTKM disarankan tidak masuk sekolah atau berada
di tempat publik agar tidak menularkan penyakit. Guna menghindarkan
penularan, perlu dijaga kebersihan lingkungan dan perorangan, antara
lain dengan mencuci tangan, desinfeksi peralatan makanan, mainan, serta
handuk yang bisa terkontaminasi virus.
”Sekolah yang muridnya terserang penyakit ini tidak perlu sampai
menutup sekolah. Cukup anak yang sakit diminta tinggal sementara di
rumah agar tidak menularkan ke temannya,” ujar Tumbelaka.
Intinya, masyarakat perlu waspada, tapi tidak perlu panik menghadapi virus Coxsackie.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment