2/02/2013 07:30:00 PM
0
Lebih dari 11 tahun yang lalu, seorang mantan staff dari sebuah tim pengembang, yaitu id Soft yang belakangan bubar, bergabung dengan tim pengembang lainnya, Rogue Entertainment. Namanya adalah American McGee. Tak lama berselang, berkat kerja samanya dengan Electronic Arts yang akan bertindak sebagai publisher, McGee melepas sebuah game yang menghantarkan semacam alternative universe dari Alice’s Adventures in Wonderland, salah satu karya Lewis Caroll.

Dijuduli secara sederhana sebagai American McGee’s Alice, game yang dikembangkan dengan berlandaskanengine id Tech 3 tersebut dirilis untuk PC dan Mac di tahun 2000. Alice mengusung genre third-person action yang masih jamak digunakan hingga saat ini. Mirip dengan film yang disutradarai oleh Tim Burton di tahun 2010 lalu,Alice in Wonderland, Alice milik McGee ber-setting beberapa tahun setelah Alice's Adventures in Wonderland danThrough the Looking-Glass.


Tak hanya berusia lebih tua, Alice versi McGee terlihat lebih sinis serta cukup sadis. Hal itu mungkin terdorong akibat insiden kebakaran yang menghanguskan rumahnya sekaligus membunuh seluruh keluarganya. Sebagai satu-satunya anggota keluarga yang selamat, terlebih dengan imajinasinya yang berlebih, Alice mulai kehilangan kewarasannya. Dia pun akhirnya dibawa ke Rutledge Asylum untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan di bawah pengawasan Dr Heironymous Wilson.
Petualangan Alice dimulai setelah mendekam selama 10 tahun di RSJ Rutledge, tepatnya saat White Rabbit memanggilnya kembali ke Wonderland, yang kini tampak sangat berbeda berkat kombinasi memudarnya kewarasan Alice dan lalimnya kekuasaan Queen of Hearts. Ok, begitulah tentang American McGee’s Alice. Mari kita melanjutkan ke sekuelnya, Alice: Madness Returns. Game tersebut baru-baru ini telah dirilis secara simultan untuk Xbox 360, PlayStation 3, dan PC.
McGee, yang sebelumnya menjabat sebagai desainer utama di game awal, kembali mengerjakan desain untuk sekuel ini setelah EA bekerja sama dengan Spicy Horse, yang kini menjadi tempat kerja terbarunya. Sedikit ironis menyoal hal tersebut, karena dahulunya Rogue Entertainment bubar paska dibatalkannya port American McGee’s Alice, yang merupakan game EA pertama dengan rating M (Mature, atau Dewasa), menuju PlayStation 2. Hal tersebut sempat membuat McGee berang.




Madness Returns, seperti halnya versi film dari American McGee’s Alice, telah dikembangkan sejak lama namun baru mulai resmi diungkap oleh EA pada pertemuan D.I.C.E. per tahun 2009 lalu. Sekuel ini melanjutkan cerita tepat setelah akhir dari game awalnya, saat Alice telah keluar dari Rutledge Asylum dan menempati panti asuhan Wayward and Lost Souls. Walau begitu, ingatannya yang traumatis akan kematian keluarganya akibat kebakaran masih menghantui diri Alice.
Tampak stabil dari luar selama sepuluh tahun ke belakang, namun Alice kini mulai kembali mendapatkan ingatan yang sebelumnya terkunci secara bawah sadar. Dalam ingatannya itu, rumah Alice bukanlah terbakar tanpa sengaja gara-gara kucing peliharaannya menjatuhkan sebuah lampu di dekat perapian, namun juga ada penyebab lain. Disebabkan stress karena mendapatkan ingatannya kembali, Alice sering mengalami halusinasi yang diimbuhi penolakan dirinya secara bawah sadar.
Hal itu jua yang membuatnya kembali ke Wonderland, kali ini tanpa bimbingan atau pun panggilan White Rabit, demi mencari pelarian. Sayangnya, dunia yang seharusnya indah itu kembali tampak berbeda berkat kegilaan yang kian merambatinya. Tak ada jalan lain, Alice mesti kembali menyelamatkan seluruh penghuni Wonderland sekaligus dirinya sendiri dari kuasa jahat yang kini menduduki dunia itu, sembari menemukan penyebab sebenarnya dari kematian keluarganya.



Secara desain, Alice masih tetap berambut hitam yang panjang nan lurus seperti di game awal, membuat kita sejenak lupa akan penggambaran Caroll terhadap gadis itu dalam dua bukunya yang walau sama-sama berambut panjang, namun berwarna pirang dan sedikit berombak. Selain bersenjatakan pisau kebanggaannya, Vorpal Blade, Alice juga mendapatkan beberapa benda unik sebagai tambahan senjata atau pun pelindung dirinya saat menghadapi lawan di Wonderland.
Sebanyak lima benda unik bakal ditemui gamer secara perlahan saat mengarungi game ini. Pepper Grinder yang akan berfungsi bak gatling gun, Hobby Horse yang akan berfungsi sebagai senjata dengan hantaman nan berat,Clockwork Bomb yang akan berfungsi sebagai peledak atau pun pemberat, Teapot Cannon yang akan berfungsi bak grenade launcher, dan sebuah payung yang akan berfungsi untuk melindungi diri Alice sekaligus membalikkan serangan lawan.
 
Di samping gaun terusan berwarna biru dengan apron putih yang familiar, Alice juga akan menggunakan bermacam gaun yang bisa gamer peroleh di tiap area baru dari Wonderland yang dikunjunginya. Menyelingi perpindahan ke area baru dari Wonderland yang penuh fantasi alias kegilaan Alice secara bawah sadar, kalian juga akan menyusuri jalanan London di era Victorian yang merupakan dunia nyata serta kewarasan sesungguhnya bagi Alice.

Di samping Dr Wilson dari Rutledge Asylum, beberapa karakter penting akan membimbing sekaligung membingungkan Alice saat berada di London. Seperti Doctor Bumby yang merupakan psikiater Alice saat ini, Nurse Witless yang renta, Nanny yang dulunya adalah pengasuh Alice di saat kanak-kanak dan kini adalah seorang pelacur, dan Radcliffe yang merupakan seorang pengacara dari pihak keluarganya terdahulu.


Tentu saja Wonderland akan lebih menjadi fokus dari game ini, dengan segala penghuninya yang menjadi berbeda berkat kembalinya kegilaan Alice dan bisa jadi karena sebab-sebab lain yang tak diketahui dirinya. Cheshire Cat dan White Rabbit akan kembali untuk membimbing Alice dengan memberikan petunjuk-petunjuk. Duchess, yang kini anehnya berada di pihak Alice, akan meminta gamer untuk menemukan Pig Snout, yang menjadi sebuah side-quest sepanjang game.
Sementara Mad Hatter mendapatkan pemberontakan dari kedua temannya, yaitu March Hare dan Dormouse, sehingga daerah kekuasaannya kini menjadi semacam pabrik yang aneh. Dari pabrik tersebut juga, mereka membangun Infernal Train, yang merupakan perwujudan terbaru atas konflik internal dalam diri Alice sepanjang game. Btw, The Dodo dan rekan sesamanya juga tampil sebagai korban, baik secara mutilasi atau diubah menjadi cyborg, oleh March Hare dan Dormouse.

The Walrus dan The Carpenter dari Through the Looking-Glass juga tampil, kali ini sebagai pihak antagonis yang menguasai Deluded Depths, dunia bawah air dari Wonderland. The Carpenter berlaku bak pembawa acara yang eksentrik sekaligus menakutkan, dengan The Walrus yang sangat bernafsu untuk memangsa para Oyster Showgirl secara literal, alias dengan memakani mereka. The Mock Turtle juga tampil di area yang sama sebagai pemimpin kapal HMS Gryphon.



The Caterpillar yang bijaksana kembali muncul di area bernama Mysterious East yang bergaya Asia, dan seperti biasanya akan berubah ujud menjadi seekor kupu-kupu nantinya. Queen of Hearts kembali bangkit, dengan kawalan para prajurit berujud kartu yang bak undead dan Executioner yang membawa-bawa sabit besar. Tweedledee dan Tweedledum tampil dalam halusinasi Alice atas rumah sakit jiwa yang pernah menaunginya selama 10 tahun.
Jika membicarakan cerita, karakter, dan personifikasi terbarunya dalam dwilogi Alice milik McGee mungkin bakal panjang, mari kita sedikit beranjak ke gameplay-nya. Masih mempertahankan dasar gameplay dari game awalnya, Madness Returns kembali menggunakan pola platformer, yang sebenarnya memang terasa lebih cocok untuk berada di konsol daripada PC. Walau begitu game ini juga masih memilliki masalah tersendiri yang bakal dirasakan oleh gamer.
Tak seperti judulnya, Madness Returns tak sebegitu gila, namun juga tak sebegitu waras. Desain gameplay-nya mungkin belum benar-benar diuji saat dilepas ke pasaran. Tiap level dari game ini akan terbagi menjadi tiga segmen utama, yaitu platforming, puzzle, dan battle. Untuk segmen platforming terhitung lumayan, itu terjadi jika kalian suka dan mau berlompatan antara satu pijakan ke pijakan lainnya sembari mempertahankan sang karakter agar tak jatuh ke lubang tanpa dasar.



Sekedar lumayan, karena tak terlalu berkembang dari akarnya, yaitu genre platformer. Begitu pun dengan segmen puzzle, yang sebenarnya tak terlalu memutar otak gamer. Temukan lever atau tombol, gerakkan, dan sebuah jalur baru terbuka. Berbicara mengenai jalur, terdapat jalur tersembunyi yang berukuran kecil yang akan menarik bagi kalian yang penasaran, namun sayangnya apa yang gamer temukan di baliknya tak terlalu sepadan dengan usaha yang kalian lakukan.

Bisa jadi gamer akan menemukan Memory, berupa sepotong dialog dari ingatan masa lalu Alice, atau sejumlah Teeth, yang dapat dipergunakan untuk memberikan upgrade ke senjata-senjata miliknya. Waktu yang dihabiskan demi menemukannya kadang terasa mubazir. Lebih anehnya lagi, kalian juga mungkin menemukan satu dari beratus botol yang ada dalam game ini, yang sampai sekarang pun tak diketahui apa kegunaannya secara jelas di sepanjang game.


Yang mungkin paling bersinar di antara ketiga segmen tersebut, adalah battle. Mendapatkan upgrade jika dibandingkan dengan game pertamanya, sehingga sisi action menjadi terasa lebih berat sekaligus jadi sangat menyenangkan terlebih jika kita berhasil selamat dari keroyokan banyak lawan tanpa terlalu mendapatkan banyakdamage. Enam benda unik milik Alice, dari Pepper Grinder hingga payung, untungnya dipetakan ke tombol-tombol yang berbeda.


Pemetaan tombol itu menjadikan battle terasa lebih mudah karena tiap jenis lawan yang dihadapi mesti diserang dengan jenis senjata serta timing yang tepat. Namun juga akan menjadi lebih menegangkan karena makin jauh kita memainkan game ini, tak jarang bakal muncul lawan-lawan yang berbeda jenis secara sekaligus untuk mengeroyok Alice. Untungnya, Alice bisa mengelak dengan berubah menjadi sekumpulan kupu-kupu, yang diimbuhi sedikit nuansa slo-mo jika timing-nya tepat.
Secara keseluruhan, desain gameplay-nya tak terlalu padat, namun sayangnya tak terlalu mengoptimalkan segmen platforming. Bolak-balik, kita hanya menemui pijakan-pijakan yang dideretkan saja. Setelah kita melakukan beberapa kali lompatan antar pijakan-pijakan yang ada, selanjutnya kita akan menemui pijakan-pijakan lagi untuk dilompati. Monoton. Awalnya Madness Returns tampak bagus di screenshot dan trailer.
Yah, karena memang kurang lebih itulah asset yang ditawarkan oleh game ini. Itulah lingkungan in-game yang bakal kalian lihat, ditampilkan dan ditata ulang dengan berbagai cara yang berbeda, untuk gamer mainkan selama berjam-jam hingga akhirnya tamat. Seharusnya dengan art design yang mantap, terlihat dari settinglokasinya yang cukup menakjubkan, game ini meningkatkan sisi kreativitasnya di aspek lain juga. Namun sayangnya game ini terasa tanggung pada akhirnya.


Hal teraneh adalah game ini sebenarnya mungkin bisa dikemas lebih padat sehingga bisa berjalan dengan cepat dan dapat ditamatkan hanya dalam waktu sekitar 12 jam, namun entah kenapa jadi melebar ke mana-mana dan mungkin butuh waktu lebih dari 24 jam demi bisa menamatkannya. Rasanya judul game ini sangat cocok, kegilaan selalu kembali dan kembali lagi. Desain yang sama, lawan-lawan yang sama, semuanya bolak-balik kembali lagi hingga terasa membosankan.
Jumlah lawan yang dihadapi pun berkembang makin aneh, sekaligus makin merepotkan, ke belakangnya. Jika kalian merasa melawan sebuah poci teh bermata itu membosankan, maka game ini akan menjadikannya berkali lipat dengan mendatangkan hingga enam atau malah lebih banyak poci teh bermata untuk mengeroyok kalian. Belum jika ditambah dengan monster berukuran besar dengan beberapa kepala bayi yang tahan terhadap serangan biasa dan sering melempari bom.
Satu tambahan segmen pada Madness Returns kelihatannya diimplementasikan demi terlihat lebih inovatif. Tambahan segmen tersebut adalah saat Alice bisa kita gerakkan di jalanan London dalam waktu yang cukup singkat sebelum dirinya melompat lagi ke Wonderland khayalannya. Walau sebenarnya tak ada yang terjadi di segmen singkat tersebut, kita akan melihat beberapa objek penting di dunia nyata Alice akan muncul di Wonderland nantinya.

Misalnya seekor ikan yang dibekukan dalam balok es di sebuah dermaga, nantinya akan kita temui sebagai lawan baru di Wonderland. Sekilas melihat-lihat barang antik bergaya Asia di rumah sang pengacara, nantinya akan melompatkan Alice ke sebuah stage yang bernuansakan Asia, yang membuatnya mesti menaiki pegunungan dari batu giok dan samurai yang tampaknya merupakan lebah-lebah origami.
Ide yang bagus, namun seperti segmen lainnya dalam game ini, hal itu pun tak bertahan lama setelah kita memainkan Madness Returns secara lebih jauh. Semakin dalam kita mencoba memainkan game ini, semakin terasa melompong, tanggung, dan jadi tak menyenangkan. Jika kalian menyukai tampilan dan tema dari game ini, belum tentu bisa menyukai elemen bolak-balik dan menebas sana-sini dengan tanpa merasa sebal sekali pun pada akhirnya.

Menjadi gila ternyata tak semudah yang kita lihat. Pun dengan seringnya Alice serta Wonderland diadaptasi ke berbagai medium. Berapa film yang telah kita tonton dengan kedua elemen itu di dalamnya? Sejak tahun 2010 lalu, saya pribadi telah menonton hingga 3 film. Alice in Wonderland dari Tim Burton, The Ward dari John Carpenter, dan Sucker Punch dari Zack Snyder. Belum terhitung dengan komik atau pun kartun dari berbagai belahan dunia.
Semuanya kurang lebih sama-sama mengkaitkan dengan kegilaan atau setidaknya imajinasi yang berlebih dari diri Alice, atau sekedar personifikasi karakter yang mirip dengannya, dan sebuah dunia khayalan, alias Wonderland. Apakah Alice memang gila? Mungkin itulah sisi menarik dari karakter yang diciptakan oleh Lewis Caroll itu. Namun segila apa dirinya? Mungkin hanya sekedar seorang anak gadis yang tidur dan bermimpi aneh karena bosan menunggui kakaknya.

Hal yang biasa dan mungkin tak akan terlalu menarik jika diangkat dan diadaptasi ke dalam medium lain dengan menokohkan Alice sebagai karakter utama. Otomatis sisi kreatif dari masing-masing orang yang ingin mengadaptasinya menjadi medium lain, atau khususnya game, akan memodifikasi atau melipatgandakan kemungkinan yang terjadi. Bagaimana jika Alice lebih gila dari yang semestinya? Entah karena itu tiba-tiba dilamar, tiba-tiba keluarganya mati secara tragis, atau sebab lainnya.




Namun hanya sekedar ide dasar serta karakterisasi saja tak cukup. Dari sini, kita hanya akan membicarakan dalam lingkup game. Selain tampilan art design yang indah dan efek suara yang menohok, game juga membutuhkan elemen maha penting. Gameplay. Butuh perencanaan yang matang, atau sebuah formula yang bisa membuat gamer selalu tertarik untuk kembali memainkannya terus-menerus hingga tamat, dan mungkin akan memainkannya ulang lagi.

Cobalah buang semua art design dan efek suara, struktur dari keenam chapter yang tampil dalam game ini akan terasa sama secara mendasar. Yep, Madness Returns hanya menjejalkan elemen platforming dan battle dengan pengulangan-pengulangan pada tiap chapter. Saat pertama kali kita mengapung di udara mungkin terasa menyenangkan, namun jika mekanisme itu dilakukan terus-menerus akan berbuah kebosanan.

Kemampuan Alice untuk mengecil demi melihat berbagai hal yang tersembunyi juga terasa menarik di awal kalinya. Namun karena bolak-balik pasti ada yang tersembunyi di tiap sudut, kita akan sering kali membuat Alice jadi mengecil dan membesar dengan tanpa rasa kasihan. Untungnya menggerakkan karakter berkeliling lingkungan in-game tak terlalu bermasalah, karena kamera dan sistem lock-on terasa lumayan bersahabat.




Namun juga tak jarang terjadi, Alice mendadak seperti menyangkut di pojokan atau tekstur lantai yang berbeda. Penggunaan pijakan yang tak terlihat serta lompatan-lompatan ajaib yang mesti dilakukan juga sering membuat Alice jatuh ke lubang tanpa dasar dan menemui kematian, untungnya dia akan respawn lagi di lokasi yang dekat untuk mengulang lagi tanpa mengurangi nilai atau pun semacam life point.

Mengenai upgrade senjata juga terasa tanggung. Memang akan memberikan tambahan damage yang bisa diberikan ke lawan, namun tak berpengaruh pada gerakan yang bisa dilakukan Alice, supaya misalnya bisa mencapai serangan combo lebih banyak. Namun tetap saja, kontrol yang enak tak terlalu membantu untuk menghilangkan kesan bahwa chapter yang sedang dijalani terasa dipanjang-panjangkan atau terlalu melebar.

Pergerakan cerita pun terasa lemah. Alice mesti berjalan terus hingga menemukan seorang penghuni Wonderland yang akan menyuruhnya untuk mencari penghuni yang lain, yang nantinya juga akan menyuruh Alice untuk mencari penghuni yang lain lagi, dan seterusnya. Tak ada semacam boss fight, hanya sekedar quest bawa barang ini ke sana demi mendapatkan jawaban bahwa mereka tak tahu dan menyarankan Alice untuk bertanya ke yang lain.




Butuh kesabaran yang tinggi hingga akhirnya Alice menemukan jawaban sebenarnya dan game mulai jadi terasa menarik. Kadang gameplay juga akan diseling dengan beberapa mini-game yang berbeda. Seperti menginjaki sebuah kastil dalam ukuran raksasa atau menggerakkan Alice di sebuah lukisan Jepang dalam ranah dua dimensi, adalah dua mini-game yang menarik. Selain itu, juga ada yang berbasis puzzle, catur, hingga rhythm. Selingan mini-game ini juga akan diulang-ulang secara repetitif.
Banyak hal dari Alice: Madness Returns yang sebenarnya menarik untuk dilihat, dirasakan, dan dimainkan, utamanya berkat jalan cerita yang terungkap secara perlahan-lahan dan art design-nya yang tetap terasa menarik sepanjang game. Sayangnya adaptasi dari salah satu karya sastra yang cukup menjanjikan ini terasa tanggung dan jadi membosankan hampir sepanjang permainan. Belum ditambah dengan tak jarangnya terjadi glitch dalam hal tampilan grafis.


0 comments:

Post a Comment