Nyeri atau rasa tidak nyaman di perut atas – umumnya di bawah
tulang rusuk di atas pusar – yang disertai kembung, sendawa berlebihan,
rasa panas di dada, mual, muntah, dan napas berbau seringkali dianggap
enteng. Biasanya penderita hanya minum obat bebas semisal antasida
(penawar asam lambung) yang banyak diiklankan.
Namun, berhati-hatilah. Meski jarang, kumpulan gejala yang dikenal
sebagai dispepsia itu bisa jadi merupakan penyakit serius seperti kanker
lambung, maupun radang lambung dalam yang bisa menyebabkan kebocoran
saluran cerna. Dispepsia tidak memilih usia dan jenis kelamin. Semua
bisa terkena. Boleh dibilang satu dari empat orang pernah mengalami
dispepsia suatu saat dalam hidupnya
Apakah Dispepsia
Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pencernaan
yang jelek”. Per definisi dikatakan bahwa dispesia adalah
ketidaknyamanan bahkan hingga nyeri pada saluran pencernaan terutama
bagian atas.
Gejala lain yang bisa dirasakan selain rasa tidak nyaman, juga mual,
muntah, nyeri ulu hati, bloating (lambung merasa penuh), kembung,
bersendawa, cepat kenyang, perut keroncongan (borborgygmi) hingga
kentut-kentut. Gejala itu bisa akut, berulang, dan bisa juga menjadi
kronis. Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan
terus-menerus.
Seberapa banyak orang yang menderita dispepsia itu?
Banyak sumber, banyak juga angka yang diberikan. Ada yang menyebut 1
dari 10 orang, namun ada juga yang menyatakan sekitar 25 persen dari
populasi. Tentu itu angka dari luar negeri yang dikutip dari http://familydoctor.org.
Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa
terkena penyakit itu. Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda
maupun tua, sama saja.
Di Indonesia sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI
pada tahun 2001 menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien
yang diteliti.
Sayang, tidak hanya di Indonesia (seperti Pak Otto), di luar negeri
pun, menurut sumber di Internet, banyak orang yang tidak peduli dengan
dispepsia itu. Mereka tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung
mereka, tetapi hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera
memeriksakan diri ke dokter.
Padahal, menurut penelitian- masih dari luar negeri-ditemukan bahwa
dari mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak
memiliki ulkus (borok) pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka
di Indonesia sendiri, penyebab dispepsi adalah 86 persen dispepsia
fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen disebabkan oleh kanker lambung.
Mekanisme
Seperti yang bisa dilihat pada tabel Klasifikasi Dispepsia berdasarkan
Penyebab, sangat beragam penyebab dispepsia. Sayangnya, sampai saat ini
belum ada satu teori pun yang bisa memuaskan semua pihak dalam hal
menjelaskan terjadinya dispepsia itu. Multifaktorial, kata para
peneliti.
Bahkan, pasien-pasien yang sama-sama mempunyai ulkus (peptic ulcer),
mekanisme terjadinya pun bisa berbeda. Artinya dengan keadaan yang sama
tidak selalu gejala yang dirasakan sama.
Begitu luasnya cakupan istilah dispesia, akhirnya ada yang menggolongkannya dengan dispepsia fungsional dan dispesia organik.
Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi tanpa diketahui
adanya kelainan struktur organ lambung (seperti ulkus, tumor maupun
kanker), mulai dari melalui pemeriksaan klinis, biokimiawi hingga
pemeriksaan penunjang lainnya, seperti USG, Endoskopi, Rontgen hingga CT
Scan.
Teori patogenesis penyakit ini masih banyak yang
kontroversial dan kontradiktif. Ada juga postulat yang mengatakan
sensitivitas mukosa terhadap asam lambung mungkin dapat menimbulkan
nyeri abdomen ataupun rasa tidak nyaman. Kelainan fungsi motori saluran
cerna atas juga dipercaya merupakan salah satu patogenesis terjadinya
dispesia fungsional.
Hasil penelitian memperlihatkan hipomotilitas antrum pilori pada
25-50 % pasien DNU, dan pengosongan lambung yang terlambat. Selain itu,
reaksi inflamasi diperkirakan mengaktivasi reseptor ambang rangsang,
sehingga stimulus fisiologis yang normal menimbulkan rasa tidak nyaman.
Kurang lebih 50% pasien dengan dispesia fungsional melaporkan keluhan
mereka berkaitan dengan makanan. Makanan dianggap memicu sekresi asam
lambung. Kopi juga dapat memperberat dispepsia, namun apakah caranya
dengan berfungsi sebagai iritan nonspesifik langsung ataupun dengan
mempresipitasi refluks gastroduodenal masih belum jelas. Obat
antiinfalmasi nonsteroid (OAINS)/ Obat pereda nyeri/rematik juga dapat
menyebabkan gangguan gejala serupa. Hal ini berkaitan dengan dosis.
Infeksi Hp
Dari berbagai laporan kekerapan Helicobacter pylori
(Hp) pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna
dengan populasi Hp pada kelompok orang normal. Korelasi sebagai faktor
penyebab masih banyak diperdebatkan, dan juga manfaat eradikasi Hp pada
dispepsia fungsional. Dengan alat endoskopi saluran cerna pemeriksaan Hp
dapat dilakukan biopsi. Hasil biopsi dengan pemeriksaan patologi
anatomi pada pasien dispesia di RSUD Tugurejo didapatkan hasil 72%
menunjukkan adanya infeksi Hp (Data unit endoskopi saluran cerna RSUD
Tugurejo).
Diagnosis Banding
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Umumnya, penderita penyakit ini sering melaporkan nyeri abdomen bagian atas epigastrum/uluhati yang dapat ataupun regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel syndrome
(IBS) yang ditandai dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren, yang
berhubungan dengan buang air besar (defekasi) yang tidak teratur dan
perut kembung.
Kurang lebih sepertiga pasien dispepsia fungsional memperlihatkan
gejala yang sama dengan IBS. Sehingga dokter harus selalu menanyakan
pola defekasi kepada pasien untuk mengetahui apakah pasien menderita
dispepsia fungsional atau IBS. Pankreatitis kronik juga dapat
dipikirkan. Gejalanya berupa nyeri abdomen atas yang hebat dan konstan.
Biasanya menyebar ke belakang.
Obat-obatan juga dapat menyebabkan sindrom dispepsia, seperti
suplemen besi atau kalium, digitalis, teofilin, antibiotik oral,
terutama eritromisin dan ampisilin. Mengurangi dosis ataupun
menghentikan pengobatan dapat mengurangi keluhan dispepsia. Penyakit
psikiatrik juga dapat menjadi penyebab sindrom dispesia. Misalnya pada
pasien gengan keluhan multisistem yang salah satunya adalah gejala di
abdomen ternyata menderita depresi ataupun gangguan somatisasi. Gangguan
pola makan juga tidak boleh dilupakan apalagi pada pasien usia remaja
dengan penurunan berat badan yang signifikan.
Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis
yang hebat sehingga timbul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, mual, dan muntah. Lebih jauh diabetik radikulopati pada akar
saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Gangguan
metabolisme, seperti hipotiroid dan hiperkalsemia juga dapat menyebabkan
nyeri abdomen bagian atas. Penyakit jantung iskemik kadang-kadang
timbul bersamaan dengan gejala nyeri abdomen bagian atas yang diinduksi
oleh aktivitas fisik.
Nyeri dinding abdomen yang dapat disebabkan oleh otot yang tegang,
saraf yang tercepit, ataupun miositis dapat membingunkan dengan
dispepsia fungsional. Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi
yang dengan palpasi akan menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut
tidak dapat dikurangi atau dihilangkan dengan meregangkan otot-otot
abdomen.
Dispepsia Fungsional
Terdapat bukti bahwa dispepsia fungsional berhubungan dengan
ketidaknormalan pergerakan usus (motilitas) dari saluran pencernaan
bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas). Selain itu,
bisa juga dispepsia jenis itu terjadi akibat gangguan irama listrik dari
lambung atau gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal.
Beberapa kebiasaan yang bisa menyebabkan dispepsia adalah menelan
terlalu banyak udara. Misalnya, mereka yang mempunyai kebiasaan
mengunyah secara salah (dengan mulut terbuka atau sambil berbicara).
Atau mereka yang senang menelan makanan tanpa dikunyah (biasanya
konsistensi makanannya cair).
Keadaan itu bisa membuat lambung merasa penuh atau bersendawa terus.
Kebiasaan lain yang bisa menyebabkan dispesia adalah merokok, konsumsi
kafein (kopi), alkohol, atau minuman yang sudah dikarbonasi.
Mereka yang sensitif atau alergi terhadap bahan makanan tertentu,
bila mengonsumsi makanan jenis tersebut, bisa menyebabkan gangguan pada
saluran cerna. Begitu juga dengan jenis obat-obatan tertentu, seperti
Obat Anti-Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik makrolides,
metronidazole), dan kortikosteroid. Obat-obatan itu sering dihubungkan
dengan keadaan dispepsia.
Yang paling sering dilupakan orang adalah faktor stres/tekanan psikologis yang berlebihan.
Penyakit Refluks Asam
Cukup sering ditemukan dispepsia akibat asam lambung yang meluap hingga
ke esofagus (saluran antara mulut dan lambung). Karena saluran esofagus
tidak cukup kuat menahan asam -yang semestinya- tidak tumpah, karena
pelbagai sebab, pada orang tertentu asam lambung bisa tumpah ke esofagus
dan menyebabkan dispepsia. Dispepsia jenis itu bisa menyebabkan nyeri
pada daerah dada.
Diagnosis
Mencari tahu sebab (diagnosis) dari dispepsia tidaklah mudah. Dalam
dunia kedokteran, diagnosis harus ditegakkan dulu sebelum memberi
pengobatan. Dalam hal itu pengobatan dispepsia boleh dibilang relatif
sukar karena untuk mengetahui dengan pasti penyebab penyakit itu relatif
tidak gampang.
Dokter harus dengan saksama membedakan antara dispepsia yang
mempunyai ulkus dan yang tidak, antara dispepsia fungsional dan
dispepsia organik. Beberapa hal yang bisa dijadikan petunjuk oleh para
dokter, yaitu sebagai berikut.
- Penelitian yang besar menunjukkan bahwa secara statistis nyeri ulu
hati yang terjadi pada malam hari dan berkurang dengan pemberian
antasid, cenderung dihubungkan dengan luka pada lambung (peptic ulcer).
- Pada dispepsia non-ulkus, tidak terjadi komplikasi dari perdarahan
seperti kurang darah, penurunan berat badan atau muntah-muntah.
- Nyeri atau ketidaknyamanan akibat Irritable Bowel Syndrome dapat
terjadi pada ulu hati. Untuk membedakannya dengan dispepsia adalah
dengan memperhatikan pola buang air besar.
Dengan pemeriksaan fisik saja, sangat sukar membedakan dispepsia ulkus dan non-ulkus.
Pengobatan
Intervensi dini terhadap sakit maag yaitu dengan mengonsumsi obat yang
bisa menetralkan atau menghambat produksi yang berlebihan dari asam
lambung (jenis antasid). Bisa juga diberikan obat yang memperbaiki
motilitas lambung. Apabila setelah dua minggu obat yang diberikan tidak
bermanfaat, biasanya dokter akan memeriksa dengan peralatan khusus.
Pengobatan Dispepsia
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pasien, tindakan dokter adalah sebagai berikut.
* Jika mempunyai ulkus, dapat diobati dan akan diberikan antasid atau
sejenisnya. Jika mengalami infeksi (terutama oleh H Pylori), perlu
diberi antibiotika.
* Jika dokter berpikir bahwa ada obat yang sedang Anda konsumsi menyebabkan dispepsia, Anda akan diberi obat lain.
Obat yang bisa mengurangi kadar asam di lambung Anda bisa sangat
membantu. Obat itu juga bisa membantu jika Anda mengalami penyakit
refluks asam.
Pemeriksaan Endoskopi bisa dilakukan jika sebagai berikut:
* Anda masih mengalami nyeri pada lambung meskipun telah minum obat dispepsia selama delapan minggu
* Nyeri berkurang atau hilang sesaat untuk kemudian muncul kembali
Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi adalah suatu pemeriksaan untuk melihat keadaan
lambung Anda. Caranya, dengan memasukkan suatu slang berkamera ke mulut
terus hingga ke lambung. Dengan demikian, dokter bisa melihat bagian
dalam lambung untuk mencari tahu apa penyebab nyeri yang Anda derita.
Tentu untuk itu Anda perlu minum cairan penghilang nyeri (anestesi) dan
bersikap pasrah saat slang itu dimasukkan. Bagi penderita dispepsia,
janganlah lupa mengonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter. Jika
diperlukan antibiotika, minum antibiotika tersebut sampai habis meskipun
Anda merasa lebih baik.
Melihat banyaknya penyakit dasar yang bermanifestasi
dalam bentuk keluhan dispepsia, diperlukan suatu perhatian pendekatan
diagnostik yang baik. Terutama untuk menyingkirkan atau menegakkan
penyebab yang dapat menimbulkan morbiditas yang berat bahkan kematian.
Berbagai sarana penunjang dapat dipakai untuk mencari penyebab
dispepsia. Selain keadaan klinik yang ditunjang pemeriksaan laboratorium
dan radiologi, pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas memegang
peran yang sangat penting.
Alat endoskopi saat ini dibuat semakin lentur/fleksibel dan diameter
yang lebih kecil. Gambar yang dihasilkan makin baik memungkinkan
pemeriksaan ini berlangsung dengan nyaman dan komplikasi yang sangat
minim. Dari pengalaman pemeriksaan endoskopi 223 pasien (setelah
evaluasi klinis lainnya) pada penderita dispepsia di RSUD Tugurejo
Semarang 2003 didapatkan sekitar 80% adanya lesi organik di saluran
cerna bagian atas. Hal ini jauh berbeda dengan data kepustakaan di luar
negeri (30-40%).
Dengan alat edoskop ini dapat pula lakukan biopsi untuk pemeriksaan
patologi dan menentukan ada/tidaknya kuman Hp. Perkembangan teknologi
memungkinkan penggunaan endoskopi semakin luas, misalnya pengambilan
polip, pengambilan benda asing yang tertelan, menghentikan perdarahan
saluran cerna dan untuk pemberian nutrisi, ERCP (Endoskopi Retrograde
Cholangio Pancreotorgraphi), Endoskopi ultrasonographi (USG Endoskopi)
dan pengambilan batu saluran empedu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteow..iya om gpp,tp saya mash blom bisa gunain om,mash newbie saya..
Deleteblog laen hmpir sama spt yg om post itu tp tetep aj bingung+gx jd om..
bisa bantu saya om??