8/20/2012 03:59:00 PM
0
image Gua Hira
Gua Hira terletak di puncak Jabbal Nur, sebelah Utara Mekkah, sekitar 5 km dari Masjidil Haram. Gua yang terbilang dangkal tersebut tingginya tak sampai 1 meter. Lebarnya berkisar satu hasta, panjangnya kira-kira dua meter. Apa yang menjadikan gua ini istimewa?
Jabbal Nur merupakan gunung yang tidak ditumbuhi tanaman. Gersang. Puncaknya amat sunyi dan agak mencekam. Di mana-mana hanya tampak batu-batu besar. Turun sedikit dari puncak Jabbal Nur, sekitar 40 meter ke bawah, terletaklah Gua Hira. Untuk mencapai puncak gunung ini, rata-rata memerlukan waktu 1 jam. Medannya cukup sulit. Tak ada titian tangga yang teratur dari bawah. Di sekelilingnya terdapat sejumlah tebing, bukit batu, dan jurang. Di belakang dua batu raksasa yang berceruk dan sempit, itulah Gua Hira. Pintu masuknya hanya dapat dilalui satu orang. Isinya hanya dapat dimuati 4 orang.
Tapi di gua ini, Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama dari Allah swt yang disampaikan melalui Malaikat Jibril. Di gua tersebut, Nabi Muhammad menyendiri. Budaya khalwat [mengasingkan diri demi mendekatkan pribadi kepada hal-hal gaib], merupakan kebiasaan orang-orang Arab yang memiliki kecerdasan iman. Mereka kerap bertapa serta berdiam di gunung-gunung yang jauh dari keramaian. Tradisi yang dilakukan tiap tahun di bulan Ramadhan tersebut bertujuan agar mereka diberi harta atau ilmu. Tetapi Muhammad tidak bertujuan untuk itu. Beliau menyepi dari masyarakat yang saat itu masih belum beriman kepada Allah. Di tempat sempit itu, Muhammad memikirkan sukunya yang sudah melupakan ajaran Nabi Ibrahim. Di Gua Hira, Muhammad menghabiskan waktunya dengan beribadah [tahannuf].
Meskipun dalam syariat berhaji tidak ditemukan perintah untuk mendatangi Gua Hira, namun pada musim haji banyak jamaah dari berbagai penjuru dunia menyempatkan mendaki Jabbal Nur untuk menziarahi Gua Hira. Ya, Gua Hira memang amat terkenal dalam sejarah Islam, karena di gua inilah Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi rasul, dan di gua itu pula turun ayat al-Qur'an yang pertama.
Turunnya Wahyu
Beberapa tahun sebelum dan setelah menikah dengan Khadijah binti Khuwalid, Rasulullah menjadikan Gua Hira sebagai tempat menyepi untuk merenung atau bertafakur. Beliau menjauhkan diri dari berbagai kemusyrikan penduduk Mekkah.
Meski demikian, beliau suka membantu para jamaah yang datang ke Ka’bah dengan menyediakan air minum. Namun, ia tidak pernah mengikuti kepercayaan ibadah orang Arab kala itu yang menyembah berhala di dalam Ka’bah. Rasulullah kerap memisahkan diri dari keramaian masyarakat Mekkah yang meninggalkan ketauhidan kepada Allah.
Di Gua Hira, putra Abdullah bin Abdul Muthalib ini menemukan ketenangan tersendiri yang tidak ia dapatkan di Mekkah. Selama berjam-jam bahkan hingga berhari-hari ia berada di Gua Hira. Ia keluar dari mulut Gua Hira hanya untuk mengambil keperluan makan dan minum secukupnya saja. Dan setelah itu masuk lagi ke Gua Hira untuk kembali merenung. Dan sepanjang Ramadhan, Nabi Muhammad menggunakan Gua Hira untuk tafakur.
Pada malam 17 Ramadhan 41H atau 6 Agustus 610 saat tafakur di Gua Hira, beliau melihat cahaya yang amat terang memenuhi ruangan gua yang sempit
itu. Tiba-tiba Malaikat Jibril muncul di hadapannya dan menyampaikan wahyu Allah Yang Maha Tinggi.
Malaikat Jibril kemudian memerintahkannya untuk membaca [iqra’]. Nabi Saw menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Nabi Saw meneruskan, “Kemudian malaikat itu memelukku [dengan kuat] dan menekanku begitu keras hingga aku tidak bisa bernafas. Kemudian ia melepaskan aku dan menyuruh membaca, namun kembali kujawab, aku tidak bisa membaca. Lalu untuk ketiga kalinya ia menangkap aku dan memelukku dengan kuat, dan kemudian
melepaskan pelukannya dan berkata, ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmu lah yang Maha Pemurah.’” [QS al- ‘Alaq [96]: 1-5].
Kemudian Rasulullah Saw pulang membawa wahyu itu dengan hati yang gundah. Setelah itu Nabi Saw menemui isterinya, Khadijah binti Khuwailid Ra. dan berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah pun menutupi tubuh beliau dengan selimut hingga rasa takutnya hilang. Setelah itu, ia pun menceritakan kepada Khadijah apa yang telah terjadi. “Aku takut sesuatu akan terjadi padaku.” Khadijah menjawab, “Tak pernah! Demi Allah, Allah tidak akan pernah memberimu aib. Kau berbuat baik terhadap sahabat dan kerabat, menolong orang miskin dan papa, memuliakan tamumu dan memberikan bantuan
kepada orang-orang yang ditimpa kemalangan.” Kemudian Khadijah mempertemukan Nabi Saw dengan sepupunya, Waraqah bin Naufal bin Abd’ Al ‘Uzza, yang pada masa jahiliyah menja di pengikut Nasrani dan menulis Kitab Injil dengan bahasa Ibrani sebanyak yang diinginkan Allah. Ia telah uzur dan matanya telah buta.
Khadijah berkata kepadanya, “Sepupuku, dengarkanlah cerita kemenakan laki-lakimu ini.” Waraqah bertanya, “Kemenakanku, apa yang telah kau lihat?” Rasulullah Saw pun menjelaskan apa yang telah dilihatnya di Gua Hira. Setelah mendengar cerita Nabi Saw, Waraqah berkata, “Ia adalah malaikat yang sama [yaitu Jibril] yang diutus Allah kepada Musa. Seandainya aku masih muda dan hidup hingga datangnya masa ketika kaummu mengusirmu.”
Rasulullah Saw bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab dengan tegas, “Setiap orang [laki-laki] yang datang dengan sesuatu yang kau bawa, pasti dia akan dimusuhi; dan seandainya aku hidup hingga datangnya hari itu [ketika kau diusir] niscaya aku akan membelamu dengan
seluruh kemampuanku.”
Selang beberapa hari kemudian, Waraqah meninggal dunia dan wahyu Illahi berhenti sementara waktu.

0 comments:

Post a Comment