Gunung Kidul ternyata tidak
setandus seperti yang dibicarakan kebanyakan orang. Tempat ini memiliki
sisi hijau yang bergelimangan air dan juga memiliki potensi wisata gua
yang tak kalah indah dengan wisata pantai-pantainya. Objek wisata Gua
Pindul adalah salah satunya.
Setelah menempuh perjalanan ke arah
utara sekitar 7 kilometer dari kota Wonosari, akhirnya sampai juga saya
bersama seorang teman saya, Herman Santoso, di Dusun Gelaran I, Desa
Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul. Tujuan kami berdua datang
kemari tentulah untuk merasakan sensasi cave tubing di objek wisata Gua
Pindul yang baru satu tahun didirikan itu.
Kami langsung disambut dengan hangat oleh ketua karang taruna yang
mengelola objek wisata tersebut dan dibawa ke balai penerimaan tamu
begitu tiba di sana. Sembari menikmati segelas minuman, kami diajak
berbincang-bincang sejenak terlebih dahulu, dan disuguhi foto-foto
tentang area yang akan kami telusuri tersebut sebelum melakukan
penjelajahan. Setelah penyambutan tamu yang berlangsung hangat dan
familiar itu, kami berdua lantas diberi masing-masing sebuah pelampung,
sepasang sepatu dan juga sebuah ban karet sebagai fasilitas yang
diberikan untuk keamanan dari paket wisata Gua Pindul.
Semua peralatan tersebut memang sangat
dibutuhkan dalam melakukan penjelajahan lantaran kondisi lantai gua
pindul yang tidak seperti gua-gua kebanyakan. Ia memiliki lantai gua
berupa sungai bawah tanah dengan panjang sekitar 300-400 meter dan
kedalaman sekitar 2-5 meter dari pintu masuk hingga pintu keluar gua.
Maka dari itulah, wisata caving gua pindul yang menggunakan ban karet
sebagai sarana penjelajahan ini sering juga disebut dengan wisata
cavetubing.
Dengan didampingi guide, kami berdua mulai melakukan penelusuran gua
siang itu. Biasanya, seorang guide diberikan hanya untuk rombongan yang
berisi 5-10 orang, namun karena kedatangan kami berdua ke sana ketika
itu adalah juga untuk tujuan peliputan, maka kami pun mendapat paket
spesial dengan didampingi oleh masing-masing seorang guide untuk kami.
Hmm, baik ya :)
It’s time to ‘Ngowoh’
Belum
memasuki mulut gua, kami berdua sudah dibuat takjub dengan apa yang
kami lihat di sana. Banyak ikan lele dan nila berenang dengan tenang di
depan pintu masuk gua itu. Saat saya bertanya apakah ikan-ikan itu
sengaja dipelihara, guide yang memandu saya menjelaskan kepada saya
bahwa ikan-ikan itu adalah ikan-ikan liar yang sudah lama menghuni
tempat itu. Maka, saya pun hanya bisa ngowoh mendengarnya. Apalagi saat
mulai memasuki mulut gua, saya kembali dibuat ‘ngowoh’ dengan keindahan
stalagmit dan stalaktit yang terukir alami di dinding dan langit-langit
gua.
Dengan diterangi hanya oleh cahaya dari lampu senter yang ada di atas
helm yang kami gunakan, guide kami menjelaskan kepada kami tentang
letak-letak ornament unik yang kami temui di sepanjang pengarungan itu;
dari batu kristal yang konon terbentuk dari tetesan air yang berasal
dari akar pohon yang tumbuh tepat di atas gua, batu gong yang ketika
dipukul mengeluarkan bunyi gema, sarang walet, hingga beberapa titik di
langit-langit gua yang dijadikan sebagai markas oleh sekumpulan
kelelawar.
Beberapa meter sebelum sampai ke pintu keluar gua, kami lagi-lagi
kembali dibuat takjub oleh pemandangan semacam kolam raksasa yang kaya
akan cahaya karena langit-langit gua yang berlubang. Kami semua berhenti
sejenak di sana untuk bermain air dan mota-moto, atau yang sering
diistilahkan oleh kebanyakan orang dengan istilah ‘ritual narsis’.
Merasa puas dengan apa yang telah kami lakukan di dalam sana, kami berdua pun kembali melanjutkan perjalanan keluar gua dan mengangkat ban karet kami untuk mencoba paket wisata yang ditawarkan kepada kami setelahnya, yaitu melakukan tubing menyusuri eksotisme sungai Oya (dalam bahasa jawa dibaca : Oyo). Nggak perlu ‘ngoyo’ di sungai Oyo
Pemandangan yang terlihat di pintu keluar Gua Pindul ternyata lebih luar biasa indah dibanding pintu masuknya. Di sana terdapat sebuah dam atau bendungan bernama Banyu Moto yang konon telah dibangun sejak era kolonial Belanda. Saya terkesan bukan hanya oleh bendungan tersebut, namun juga oleh anak-anak kecil yang tengah riang bermain air di sana.
Menyusuri pematang-pematang sawah meninggalkan dam tersebut, saya
lagi-lagi disapa oleh pemandangan yang tak kalah menarik; beberapa anak
kecil yang tengah mandi di kali, samudra padi yang membentang hijau,
juga langit yang sebiru bebatuan safir. Anggapan masyarakat tentang
Gunung Kidul adalah tanah yang kering dan tandus seolah terdengar
seperti sebuah kebohongan belaka ketika saya menjejakkan kaki saya di
sana ketika itu juga.
Wangi minyak kayu putih yang berasal dari hutan kayu putih yang terdapat
tidak begitu jauh dari sana menyambut kami saat mengawali perjalanan
mengarungi sungai Oya. Tak ada kata bosan ketika memandang apa yang
terlihat di sepanjang pengarungan itu. Dinding-dinding sungai Oya
terlihat seperti sebuah karya seni yang abstrak, membentuk ukiran-ukiran
yang bisa diterjemahkan ke dalam berbagai hal sesuai dengan imajinasi
penikmatnya. Air juga seringkali terlihat menetes dari beberapa titik di
dinding sungai, sepanjang pengarungan itu.
Tubing
di sungai Oya tidak seekstrim seperti yang saya bayangkan sebelumnya,
ternyata. Air di sungai Oya ini mengalir begitu tenang. Didorong
pelan-pelan oleh guide kami sambil memandang keelokan pemandangan yang
terhampar di depan mata melahirkan kesan bahwa wisata ini merupakan
wisata paling santai dan ‘nikmat’ yang pernah saya lakukan.
Dan
di antara semua hal yang bisa dilihat di sana, yang paling membuat saya
kagum adalah sebuah air terjun yang saya temui di satu titik dalam
pengarungan sungai Oya yang menempuh jarak sekitar kurang lebih 1,5
kilometer itu. Namun, lantaran kunjungan saya ke sana ketika itu adalah
pada saat musim kemarau, maka air terjun tersebut pun menjadi terlihat
tidak utuh alias bercabang. Konon, jika musim hujan tiba, cabang-cabang
air terjun tersebut menyatu, sehingga akan terlihat sebagai sebuah air
terjun yang utuh dan lebar. Kendati demikian, di mata saya, yang
bercabang itu pun juga tetap bisa dinikmati sebagai sebuah karya Tuhan
yang luar biasa indah karena hamparan padi dan pohon kelapa yang
melatarinya.
Perjalanan tubing di sungai Oya diakhiri dengan dijemput oleh mobil
pick-up di titik finish yang sudah ditentukan. Kami dibawa kembali ke
tempat pertama kali kami disambut. Segelas wedang jahe yang hangat dan
semangkuk bakso pun menjadi penutup perjalanan kami yang manis dan
‘maregi’ hari itu. Padahal kami juga dijanjikan akan dibawa menyusuri
tujuh mata air, menyusuri gua yang dihuni oleh banyak landak, dan
dipertemukan dengan pemilik Wayang Beber pada keesokan harinya. Namun,
karena tiba-tiba ada keperluan yang membuat kami harus pulang ke
Semarang pada hari itu juga, maka kami pun tidak jadi menerima niat baik
itu. Sayang sekali, memang. []
0 comments:
Post a Comment