Roy Suryo, Menpora yang pengangkatannya banyak menuai penolakan publik (Sumber Photo : TV One di Gedung DPR) |
Roy Suryo yang baru-baru dikabarkan
menjadi Menpora baru menggantikan Andi Mallarangeng yang mundur karena
terlibat kasus korupsi Hambalang, menjadi ledakan opini yang luar biasa
pada awal tahun 2013, bagaimana tidak, Roy Suryo amat tidak disukai
oleh kelompok ahli IT, Roy juga sering membuat kontroversi, salah
satunya adalah keculunan dia saat naik pesawat Lion Air, yang kemudian
disorakin oleh hampir seluruh penumpang pesawat.
Ketokohan Roy Suryo harus diakui berbanding
terbalik dengan kepopuleran Jokowi, Roy naik jabatan bukan karena
torehan prestasinya, pemikirannya soal Olahraga dan Kepemudaan tapi
lebih karena Roy dianggap dikenal di kalangan publik, sampai saat ini
publik belum mengetahui apa visi Presiden SBY mengangkat Roy yang
dinilai publik keputusan pengangkatan Menteri yang amat ngawur, situasi
yang amat berbeda saat Presiden SBY mengangkat Nafsiah Ben Mboy sebagai
Menteri Kesehatan, yang pengangkatannya dipuji banyak orang karena
berdasarkan prestasi Nafsiah di masa lalu.
Konflik pengangkatan Menteri sebenarnya
tidak terjadi di jaman SBY saja, banyak catatan pengangkatan Menteri
yang kemudian menimbulkan konflik tapi juga situasi-situasi lucu. Dulu
di jaman Revolusi 1945, konflik pengangkatan Menteri yang paling
kontroversial justru adalah pengangkatan Sutan Sjahrir sebagai Perdana
Menteri, bagi banyak analis sejarah pengangkatan Sjahrir sebagai Perdana
Menteri merupakan sebuah ’silent coup‘ atau ‘kudeta senyap’ bagi kepemimpinan Sukarno dimasa revolusi 1945.
Negara UUD 1945 saat itu menghendaki sistem
pemerintahan Presidensial, tapi Sukarno dengan aneh menyetujui posisi
Perdana Menteri, pertimbangan Sukarno karena ia mengetahui Sjahrir dekat
dengan Inggris yang merupakan kartu truf untuk menghadapi Belanda,
sementara nama Sukarno sudah didengung-dengungkan oleh Pemerintahan
Pengasingan Hindia Belanda di Australia sebagai seorang ‘Penjahat
Kolaborator’.
Sjahrir dicatat sebagai ‘Menteri Besar’
yang pengangkatannya menimbulkan konflik, pengangkatan Sjahrir ini kelak
akan dibuntuti oleh banyak peristiwa, seperti Penangkapan Tan Malaka di
tahun 1946, pecahnya kongsi politik Sjahrir dan Amir sampai pada
pencaplokan posisi Perdana Menteri oleh Hatta untuk menstabilkan
keadaan.
Selain Sutan Sjahrir, kontroversi
pengangkatan Menteri terjadi pada saat Bung Karno menjalankan politik
Demokrasi Terpimpin. Ceritanya begini, setelah pengunduran Hatta pada
tahun 1956, Bung Karno menolak ada posisi jabatan Wakil Presiden, Bung
Karno sampai tiga kali meminta Hatta mengurungkan untuk mundur. Di satu
saat Bung Karno berkonsultasi dengan banyak kawannya termasuk Muhammad
Yamin dan Roeslan Abdulgani tentang posisi Hatta. Pada diskusi politik
itu, Roeslan mengabarkan bahwa Hatta masih amat dicintai oleh
orang-orang politik di Parlemen. Sementara Bung Karno sendiri-pun
menganggap Hatta adalah “Orang Nomor Dua Selamanya”, kata Bung Karno
“Tidak boleh ada orang yang namanya setelah namaku kecuali nama Hatta
karena kami adalah Dwitunggal”.
Lantas Yamin mengusulkan, posisi Wakil
Presiden dilangsungkan saja menjadi posisi Perdana Menteri, saat itu
memang sistem pemerintahan kita adalah parlementer dimana kepala
pemerintahan adalah Perdana Menteri, Ir. Djuanda yang jadi Perdana
Menteri kemudian menjadi ‘orang yang bekerja keras dibalik Sukarno’.
Selama pemerintahan Djuanda, Indonesia diuntungkan dengan masuknya dana
pampasan Djepang dan membangun banyak monumen, Hotel dan Jembatan,
selain itu ada dana bantuan dari Sovjet Uni dan Amerika Serikat.
Namun kelancaran Pemerintahan Djuanda ini,
kemudian mandeg setelah tiba-tiba Djuanda meninggal. Nah disinilah
kemudian Partai-Partai berebutan masuk untuk mempengaruhi Bung Karno. Di
kalangan Partai Murba, sebuah Partai Komunis berorientasi
Nasionalis-Tan Malakais, mendorong agar bertindak cepat mendekati Bung
Karno. Adam Malik yang disukai Bung Karno pada waktu itu melobi Bung
Karno untuk memasukkan salah satu kader Murba. Bung Karno tau bahwa ada
salah satu kader Murba yang bisa menandingi kepopuleran Jenderal
Nasution, kader itu bernama Chaerul Saleh, eks warlord di
sekitar wilayah Karawang, orang yang juga pernah memimpin laskar bambu
runtjing sebuah laskar rakyat yang paling disegani oleh TNI. Chaerul
Saleh tidak disukai oleh Nasution, namun Bung Karno perlu Chaerul untuk
melobi Jerman Barat untuk bantuan konsultasi industri berat. Selain
Chaerul, Bung Karno mengangkat Subandrio sebagai salah satu pembantunya,
Bandrio ini amat berjasa saat perebutan Irian Barat, taktiknya untuk
melobi Inggris lewat jaringan politik Ratu Elizabeth II dan juga
memanfaatkan hubungan baik dengan pemerintahan JF.Kennedy berhasil
mempecundang Perdana Menteri Belanda, Luns di depan dunia Internasional.
Sementara Leimena digunakan Sukarno untuk menjaga batas persaingan
Chaerul dan Bandrio.
Ada cara unik Bung Karno mengangkat tiga
orang ini menjadi Waperdam yaitu Bung Karno meminta masing-masing
menarik korek api, Bandrio mendapatkan bagian pentol yang dipotong,
Leimena mendapatkan potongannya dan Chaerul Saleh satu pentol utuh, Bung
Karno sendiri yang kemudian meminta mereka masing-masing mengangkat
batang korek api itu dari tangan Bung Karno, kemudian terpilihlah
Bandrio jadi Waperdam I, Leimena Waperdam II dan Chaerul Saleh Waperdam
III berdasarkan tarikan batang korek api.
Kontroversi ketiga dalam pengangkatan
Menteri adalah diangkatnya Mayor Syafe’i sebagai Menteri dalam Kabinet
Bung Karno di saat situasi amat kritis, yaitu : Setelah Gestapu Untung
1965. Asal tahu saja, Syafe’i adalah Boss copet Pasar Senen, dia punya
geng yang amat ditakuti di Pasar Senen namanya : Geng Kobra. Di masa
revolusi 1945, copet senen itu menjadi salah satu gerilyawan yang paling
ditakuti pasukan Tijger Belanda, Sjafe’i bikin laskarnya sendiri yang
banyak menyerang tangsi KNIL Belanda di sekitaran Kwini, salah satu
pertempuran terkenal Sjafe’i adalah serangan Februari 1946, yang
kemudian membuat marah Belanda dan Belanda membalas dengan patroli lalu
menembaki rumah Bung Karno di Pegangsaan dan memberondong mobil Sutan
Sjahrir yang saat itu sedang melintas di Salemba ke arah lapangan tenis
di dekat laboratorium biologi Sekolah Kedokteran.
Bung Karno berharap pengangkatan Sjafe’i
ini akan meredam protes-protes mahasiswa di Djakarta yang dinilai
mangkin kurang ajar. Namun pengangkatan Sjafe’i ini menjadi olok-olok
mahasiswa, nyanyian olok-olok ini dinyanyikan sepanjang jalan saat
mahasis demo “Tek kotek kotek kotek koteeek, ada menteri kok tukang
copet”…….
Suasana Pengangkatan Mayor Syafe |
Pada masa Suharto pengangkatan menteri
yang agak kontroversial namun tidak menghebohkan masyarakat adalah
pengangkatan BJ Habibie, saat itu Habibie adalah anak muda yang dibawa
Ibnu Sutowo pulang dari Jerman Barat. Ibnu meminta Habibie pulang untuk
membantu Pak Harto. Apalagi waktu kecil Habibie sudah mengenal Pak
Harto, karena Pak Harto adalah sahabat dari keluarganya di Pare-Pare
Sulawesi Selatan, saat Pak Harto menumpas pasukan separatis disana. Nah,
pengangkatan Habibie dikabarkan tidak disenangi oleh M Jusuf, karena
sebelumnya ada insiden dimana M Jusuf ditolak oleh BJ Habibie saat M
Jusuf meminta blue print yang dibuat oleh Habibie soal rencana alur
pengembangan industri berat nasional, M Jusuf tersinggung dan melapor
ke Pak Harto. Dalam buku biografi M Jusuf hal ini pernah diceritakan
sekilas, juga dalam buku biografi BJ Habibie.
Pak Harto dan Harmoko, Sebagai Menteri Harmoko adalah Ikon Terbesar Orde Baru (Sumber Photo : Kompas) |
Menteri yang kemudian menghebohkan
publik saat itu adalah pengangkatan Harmoko sebagai Menteri Penerangan,
bagaimana tidak menteri penerangan sebelumnya adalah Ali Moertopo,
seorang Jenderal veteran yang paling berpengaruh selama Orde Baru, Ali
juga dikenal sebagai Boss Intelijen. Harmoko rupanya mendapat pesan dari
jabatannya untuk berperang dengan rekan-rekannya sendiri sesama
wartawan.
Pak Harto sudah memperhatikan Harmoko sejak
tahun 1974 jamannya bentrok PWI antara kubu Rosihan dengan kubu BM
Diah, orang ini dinilai Pak Harto memiliki naluri tempur menghadapi
rekan seprofesinya dan juga dianggap mampu mengkooptasi pers menjadi
bagian dari negara serta tidak bertindak oposan, Harmoko yang merupakan
wartawan dan juga dijuluki bagian dari ‘seniman gelandangan pasar senen’
karena kemampuannya membuat gambar karikatur menjadi musuh banyak
wartawan saat itu. Salah satu orang yang membenci Harmoko adalah
Goenawan Mohammad atau dikenal GM seorang pemred TEMPO yang kelak juga
menjadi korban kebringasan bredel Harmoko. GM pernah membuat sebuah
anekdot yang lucu saat Harmoko digambarkan tidak lagi menjadi Menteri
Penerangan, anekdot yang menggambarkan seorang bertanya berkali-kali
kebenaran Harmoko dicopot dari jabatannya karena saking gembiranya.
Walaupun Harmoko menjadi musuh banyak rekan seprofesinya, namun ia amat
lihai membesarkan Golkar, di tahun 1997 Golkar mengalami kemenangan
politik yang luar biasa besar, bahkan persentasenya sesuai dengan angka
hari, bulan dan tahun kelahirannya. Namun keberhasilan Harmoko tidak
dihargai oleh Pak Harto, Harmoko yang berharap menjabat jadi Wakil
Presiden dan bermimpi sebagai Putera Mahkota Pak Harto kandas setelah
Pak Harto memilih BJ Habibie sebagai Wakil Presidennya, namun tak pelak
Harmoko adalah salah satu ikon .
Yang paling seru sebenarnya adalah kisah
pengangkatan Jenderal Benny Moerdani sebagai Panglima TNI, waktu itu Pak
Harto mendapatkan kabar dan data-data dari pihak lain bahwa posisi M
Jusuf amat kuat, dia disegani banyak tentara karena hampir tiap hari dia
keliling daerah mengunjungi prajurit TNI, agenda kerja “AMD/ ABRI Masuk
Desa” menjadi agenda paling populer bagi rakyat Indonesia, hampir tiap
acara berita : kunjungan M Jusuf selalu jadi berita. Laporan-laporan
yang kemudian dipelintir bahwa M Jusuf akan menjadi rivaal bagi Pak
Harto membuat Pak Harto mengambil keputusan untuk menggantikan posisi
Jusuf dengan LB Moerdani, pengangkatan Jenderal Benny ini kemudian
memancing seorang mayor muda untuk menolak pengangkatan Jenderal Benny,
bahkan kabarnya sang Mayor itu menerobos masuk ke rumah Benny untuk
memata-matai. Tindakan nekat ini diceritakan dalam buku biografi M
Jusuf.
Berbeda dengan Bung Karno yang selalu
menyuruh ajudannya untuk menanyakan kesediaan seseorang menjadi Menteri,
di jaman Pak Harto biasanya tiga hari sebelum pengumuman posisi menteri
menjadi hal yang paling menegangkan bagi banyak kandidat, konon
kabarnya banyak pejabat yang stress menunggui telepon rumah karena
adalah kebiasaan bagi Pak Harto menelepon langsung ke rumah orang yang
akan dijadikan Menteri, dan biasanya sang calon melarang keluarganya
untuk memakai telpon rumah selama masa penantian tersebut, cerita ini
menjadi anekdot dikalangan keluarga pejabat pada saat itu.
Harus diakui baik Bung Karno maupun Pak
Harto mengangkat seseorang menjadi Menteri lewat kemampuannya membaca
keadaan, walaupun kadang-kadang pengangkatan itu menjadi posisi yang
serba salah seperti kasus Mayor Syafe’i atau kasus di jaman Orde Baru
tentang Billy Judono. Namun baik Bung Karno dan Pak Harto, tidak
terkesan sembarangan mengangkat posisi Menteri, seperti SBY yang
terkesan sembrono mengangkat Roy Suryo menjadi Menpora.
SUMBER
0 comments:
Post a Comment