Tadi malam saya sempat
berbincang-bincang dengan seorang kawan tentang rencananya berwisata ke
Swedia saat cuti bulan Maret nanti. Kawan ini, yang berasal dari Mesir,
memang sudah beberapa tahun ini menjalin hubungan dengan seorang gadis
berkebangsaan Swedia dan perjalanan ke negara Skandinavia tersebut
selain untuk plesiran sekaligus juga untuk meminang sang gadis pada
orang tuanya. Walaupun sudah cukup lama berhubungan, namun tak ayal ia
masih agak khawatir jika keinginannya menikahi sang pujaan hati tidak
direstui oleh orang tua yang bersangkutan. Sebab utamanya adalah
perbedaan agama.
Isyana Bagoes Oka - produk kawin campur yang juga menikah beda agama (sumber: hot.detik.com) |
Walaupun rekan ini mengaku bahwa ia
tidak akan meminta sang kekasih menjadi mualaf (berbeda dengan di
Indonesia, di jazirah Arab pendapat yang memperbolehkan seorang pria
Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab cukup sering saya temui) namun ia
menginginkan anak-cucunya nanti dididik secara Islam. Sang calon istri
sendiri sudah setuju, demikian pula sang calon mertua perempuan sudah
memberikan restunya. Hanya calon ayah mertuanya yang belum memberikan
lampu hijau. “Kenapa kamu takut?” saya bertanya. Ia pun menjawab
singkat, “Kamu tahu kan bagaimana pandangan mereka terhadap orang Islam,
apalagi yang berasal dari Arab seperti saya ini.” Saya pun berusaha
menenangkan, “Tidak perlu khawatir. Beri mereka waktu untuk mengenalmu
lebih jauh. Saya yakin kalau mereka sudah tahu sifat-sifatmu, mereka
tentu akan merestui.”
Menikah beda agama dan beda bangsa
memang merupakan suatu fenomena yang cukup jamak saya temukan di Dubai,
kota tempat saya tinggal beberapa tahun belakangan ini. Tidak heran,
mengingat di kota kecil ini terdapat lebih dari 150 kewarganegaraan yang
tentunya juga beragam latar belakang budaya dan agamanya. Di kantor
saya sendiri (yang jumlah karyawannya sekitar 90 orang) terdapat kurang
lebih 30 kewarganegaraan yang berbeda (akan saya tulis mengenainya di
lain hari), dan beberapa di antaranya melakukan kawin campur. Ada
pasangan India - Filipina, Mesir - Rusia, Lebanon - Uzbekistan, Afrika
Selatan - Cina (ada dua pasangan), Kenya - Cina, Tunisia - Belgia, dan
sebagainya. Pimpinan kantor kami sendiri yang orang Inggris menikah
dengan orang Belanda (walaupun kemudian bercerai).
Sudah tentu di antara mereka yang
kawin campur tersebut ada yang berbeda keimanannya (saya ganti kata
“agama” dengan “keimanan” karena ada juga yang tidak beragama), dan
biasanya salah satunya akan mengikuti agama pasangannya, misalnya rekan
kami seorang warga negara Cina yang bersuamikan seorang Muslim dari
Kenya. Bukan hanya memeluk agama sang suami, rekan ini juga kini
mengenakan jilbab, bahkan abaya (jubah hitam panjang yang
merupakan pakaian tradisional wanita di sini). Namun ada juga yang tetap
teguh berpegang pada keyakinannya masing-masing, misalnya teman saya
orang India yang beristrikan orang Filipina. Mereka menikah dua kali, di
India dengan prosesi agama Hindu dan di Filipina dengan prosesi
gerejawi. Di mobil dan rumah mereka pun terdapat ornamen dari kedua
agama.
Kebetulan pernikahan beda agama juga
merupakan sesuatu yang tidak asing dalam keluarga kami. Orang tua saya
menikah beda agama (keduanya masih menganut agama masing-masing hingga
saat ini), kakak saya juga baru saja menikah dengan penganut agama yang
berbeda (istrinya mengikuti). Permaisuri hati saya juga adalah seorang
agnostik yang secara formal tidak memeluk agama apapun (catatan: kami
belum menikah). Di lingkungan keluarga besar kami (baik dari pihak ayah
maupun ibu) pun ada beberapa paman, bibi, dan sepupu yang menikah lintas
agama.
500questions.wordpress.com |
Saya tidak tahu (dan tidak merasa
perlu tahu) bagaimana perilaku keagamaan mereka sebelum menikah. Tapi
pada umumnya memang dalam pernikahan beda agama, terjadi tarik ulur
kepentingan. Entah karena keinginan keluarga masing-masing, keinginan
mempelai sendiri, atau karena peraturan pemerintah yang memang hanya
mengakui pernikahan seagama.
Saya sendiri percaya bahwa agama adalah
soal rasa, tidak bisa dipaksakan kepada siapapun, dan oleh karenanya
saya tidak setuju dengan UU Perkawinan yang mensyaratkan bahwa suatu
perkawinan dianggap sah hanya jika ia sah secara agama, yang menyiratkan
bahwa kedua belah pihak harus memeluk agama yang sama. Bagi saya tidak
ada artinya seorang suami atau istri berpindah agama secara formal
hanya supaya mereka dapat menikah secara sah di mata agama dan negara.
Kebetulan ada beberapa kenalan saya yang menikah dengan WNA yang tidak
religius. Supaya sah menurut agama dan hukum negara, para WNA ini pun
menyatakan diri memeluk agama pasangannya. Namun yang berubah hanya
identitas formalnya saja, perilakunya tidak berubah sama sekali, ibadah
wajib pun tidak dikerjakan. Bukankah ini justru melecehkan agama?
Tetapi entah kenapa banyak orang
bangga kalau suami atau istrinya mengikuti agamanya, walaupun hanya di
atas kertas atau pada hari-hari raya saja, seakan-akan hal seperti itu
adalah sebuah prestasi. Apakah ini karena sedari kecil kita dididik
mengenai pentingnya beragama, walaupun hanya sebatas identitas atau
bahkan kedok sosial? Atau karena dengan demikian kita merasa berkuasa
atas diri pasangan?
Cinta Tapi Beda - sebuah film kontroversial yang mengangkat kisah romansa beda agama (sumber: kapanlagi.com) |
Saya sendiri terus terang bukan
penganut agama yang sangat taat. Sampai sekarang ibadah saya masih
banyak bolongnya, pengetahuan agama saya juga masih jauh dari sempurna,
hal-hal yang tidak dianjurkan dalam agama pun masih banyak yang saya
lakukan, sementara yang dianjurkan banyak yang tidak dilakukan. Jelas
bukan contoh yang baik! Dan selama bertahun-tahun saya menjalani
kesemuanya itu tanpa beban dan tanpa rasa bersalah.
Pandangan saya mulai berubah ketika
sang permaisuri mulai tertarik terhadap ritual-ritual yang saya lakukan
(walaupun saat itu saya melakukannya hanya karena kebiasaan, yang
lagi-lagi lebih banyak bolongnya), termasuk ketika saya menjalankan
ibadah puasa atau ketika saya berdoa sebelum makan. Malah sering kali ia
ikut mengingatkan, “Kamu tidak berdoa dulu?” Suatu ketika saya pernah
bersembahyang agak lama karena kebetulan sedang banyak pikiran (nah kan,
kalau sedang ada masalah baru ingat Yang di Atas!) ia pun bertanya,
“Hari ini kamu berdoa apa, kok lama sekali?”
Di saat-saat seperti itu saya merasa
tersentak sekaligus malu, seakan sedang ditegur langsung oleh Tuhan.
Betapa saya yang mengaku beragama ini ternyata tidak bisa
mempertanggungjawabkan agama yang saya pilih sendiri di hadapan manusia,
apalagi di hadapan Tuhan. Bagaimana nantinya setelah saya berkeluarga?
Padahal sebagai calon kepala keluarga, saya merasa memiliki tanggung
jawab untuk mendidik keluarga saya sesuai dengan norma-norma agama yang
saya anut, setidaknya menunjukkan contoh yang baik bagi istri dan
anak-anak saya. Bukan sekadar mendikte mereka tentang tata cara
beribadah atau ribut-ribut hanya pada hari-hari raya tertentu saja, atau
bahkan hanya sebagai pengisi kolom di KTP, tetapi memberikan
keteladanan yang terinspirasi oleh agama saya tersebut. Jangan lupa,
pandangan mereka terhadap karakter Anda akan membentuk pandangan mereka
terhadap agama Anda!
Sedikit menyimpang dari topik
cerita, bertahun-tahun lalu, saya pernah didatangi seorang kenalan yang
dengan antusias menyampaikan kepada saya bahwa ia baru saja memeluk
agama yang sama dengan saya beberapa hari sebelumnya. Saya terkejut,
karena tiga hal: pertama, kami tidak begitu dekat, bahkan tidak pernah
berbincang-bincang sebelumnya, hanya sekedar bertukar salam dan
basa-basi, dan bagi saya beragama adalah suatu hal yang sangat pribadi
sifatnya, kedua, saya tidak pernah menduga bahwa ia adalah seseorang
yang akan pindah agama (mungkin karena ketidakakraban kami tadi), dan
ketiga, kenapa saya?
Usut punya usut, ternyata saya
adalah salah seorang dari sedikit orang yang ia ketahui seiman dan
menurut pandangannya, saya adalah seseorang yang mampu memberikan
bimbingan dalam agamanya yang baru dipeluknya itu. Padahal kehidupan
saya saat itu sangat jauh dari religius, dalam artian saya jarang
beribadah baik di rumah maupun di tempat ibadah setempat, walaupun
memang saya selalu berusaha untuk menjaga tingkah laku saya sehari-hari
(sama seperti kebanyakan orang pada umumnya!)
Itulah untuk pertama kalinya saya
mulai tersadar bahwa orang menilai agama kita bukan dari ayat-ayat suci
yang kita kumandangkan, bukan dari nada dering telepon genggam kita yang
berirama agamis, bukan dari berbagai istilah suci yang kita ucapkan.
Bukan! Mereka menilai agama kita dari perilaku kita sehari-hari. Tidak
lebih dan tidak kurang.
Sekadar contoh lain, saya pernah
memiliki seorang rekan kerja yang luar biasa religiusnya. Ia senantiasa
menyisipkan berbagai idiom keagamaan dalam kata-katanya, pakaian dan
aksesorinya menonjolkan simbol-simbol agamanya, bahkan ia seringkali
mengirimkan berbagai tautan artikel-artikel agamanya ke rekan-rekan
kerja lainnya, termasuk yang tidak seagama (termasuk saya). Namun di
lain banyak perilakunya di tempat kerja yang tidak mencerminkan
profesionalisme, dari datang terlambat, menolak ikut memberikan urunan
(walaupun secara halus), menunda-nunda pekerjaan, dan sebagainya.
Akibatnya berbagai pesan-pesan keagamaan yang disampaikannya menjadi
kontra produktif, bahkan dijadikan bahan cemoohan. Padahal kalau saja ia
mengikuti pesan Mahatma Gandhi berikut ini, “Bunga mawar tidak
perlu berkhotbah. Ia hanya menebarkan wewangiannya. Aroma itu adalah
suatu khotbah tersendiri… aroma kesalehan dan kehidupan spiritual jauh
lebih halus dari wewangian bunga mawar,” saya yakin akan semakin banyak orang yang tertarik mendengarkan pesan-pesan agamisnya tadi.
Mahatma Gandhi - tokoh Hindu India yang banyak mengutip ajaran-ajaran Alkitab dalam pesan-pesannya (sumber: ivanfoo.blogspot.com) |
Demikian pula halnya dengan pasangan
kita. Kalau Anda termasuk salah seorang yang beruntung memiliki
pasangan yang mau mengikuti agama Anda (baik sukarela maupun terpaksa),
mari kita membimbing mereka dengan baik. Jangan lupa, untuk memutuskan
memeluk sebuah keyakinan yang baru (dan bahkan mungkin sama sekali
asing), mereka tentu mengalami pergumulan yang tidak ringan, baik dengan
keluarga atau lingkungan sosialnya, maupun dengan diri sendiri. Mari
kita yakinkan mereka bahwa pilihan mereka itu bukan sebuah pilihan yang
keliru, melainkan sebuah pilihan yang memberikan manfaat, baik dalam
kehidupan saat ini maupun kehidupan yang akan datang. Semoga.
(Terlampir doa agar rekan saya di atas sukses dalam misinya meluluhkan hati sang calon mertua!)
0 comments:
Post a Comment