Aktivitas politik Soekarno saat masa pergerakan di pertengahan tahun
1920-an membuatnya menjadi incaran Belanda. Sejak pindah ke Bandung
untuk meneruskan sekolahnya, gerak-gerik Bung Karno diawasi ketat.
Hingga kemudian di bulan Desember 1929 Bung Karno muda dijebloskan ke
penjara.
Bung Karno pindah ke Bandung dari Surabaya pada tahun 1920. Dia
melanjutkan pendidikan ke THS (Technische Hoogeschool atau Sekolah
Teknik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Pada tahun 1926 saat dia sudah
lulus dan bergelar insinyur, Bung Karno mendirikan Algemene Studie Club
di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional
Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI
inilah yang membuat dia mendekam di penjara Banceuy dan kemudian
dipindahkan ke Sukamiskin pada tahun 1930.
Kehidupan ekonomi Soekarno saat di Bandung sangat memprihatinkan. Dia
menikah dengan Inggit Garnasih tahun 1923. Soekarno tidak pernah
bekerja secara profesional yang mendatangkan penghasilan. Waktunya lebih
banyak dihabiskan untuk kegiatan politik.
Saat dipenjara, Soekarno mengandalkan hidupnya dari sang istri.
Seluruh kebutuhan hidup dipasok oleh Inggit yang dibantu oleh kakak
kandung Soekarno, Sukarmini atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Wardoyo.
Saat dipindahkan ke penjara Sukamiskin, pengawasan terhadap Soekarno
semakin keras dan ketat. Dia dikategorikan sebagai tahanan yang
berbahaya. Bahkan untuk mengisolasi Soekarno agar tidak mendapat
informasi dari luar, dia digabungkan dengan para tahanan 'elite'.
Kelompok tahanan ini sebagian besar terdiri dari orang Belanda yang
terlibat korupsi, penyelewengan, atau penggelapan. Tentu saja, obrolan
dengan mereka tidak nyambung dengan Bung Karno muda yang sedang
bersemangat membahas perjuangan kemerdekaan. Paling banter yang
dibicarakan adalah soal makanan, cuaca, dan hal-hal yang tidak penting.
Beberapa bulan pertama menjadi tahanan di Sukamiskin, komunikasi Bung
Karno dengan rekan-rekan seperjuangannya nyaris putus sama sekali. Tapi
sebenarnya, ada berbagai cara dan akal yang dilakukan Soekarno untuk
tetap mendapat informasi dari luar.
Hal itu terjadi saat pihak penjara membolehkan Soekarno menerima
kiriman makanan dan telur dari luar. Telur yang merupakan barang
dagangan Inggit itu selalu diperiksa ketat oleh sipir sebelum diterima
Bung Karno.
Seperti yang dituturkan Ibu Wardoyo yang dikutip dalam buku 'Bung
Karno Masa Muda' terbitan Pustaka Antarkota tahun 1978, telur menjadi
alat komunikasi untuk mengabarkan keadaan di luar penjara. Caranya, bila
Inggit mengirim telur asin, artinya di luar ada kabar buruk yang
menimpa rekan-rekan Bung Karno. Namun dia hanya bisa menduga-duga saja
kabar buruk tersebut, karena Inggit tidak bisa menjelaskan secara
detail.
Seiring berjalannya waktu, Soekarno dan Inggit kemudian menemukan
cara yang lebih canggih untuk mengelabui Belanda. Medianya masih sama,
telur. Namun, telur tersebut telah ditusuk-tusuk dengan jarum halus dan
pesan lebih detail mengenai kabar buruk itu dapat dipahami Bung Karno.
Satu tusukan di telur berarti semua kabar baik, dua tusukan artinya
seorang teman ditangkap, dan tiga tusukan berarti ada penyergapan
besar-besaran terhadap para aktivis pergerakan kemerdekaan.
Ada lagi cara yang lebih rumit dengan menggunakan media buku-buku
agama hingga Alquran. Inggit yang mendapat jatah berkunjung dua kali
sepekan diizinkan membawa buku-buku agama dan Alquran. Misalnya, Bung
Karno dikirimi Alquran tanggal 24 bulan April. Maka Bung Karno harus
membuka surat Alquran keempat di halaman 24. Di bawah huruf-huruf
tertentu pada halaman tersebut terdapat lubang-lubang kecil seperti
huruf Braille. Contohnya di bawah huruf B ada tusukan, selanjutnya di
bawah huruf U, dan seterusnya, hingga membentuk rangkaian kata dan
kalimat yang berisi kabar dari rekan-rekan seperjuangannya yang berada
di luar penjara.
Satu lagi model komunikasi yang digunakan Bung Karno. Cara ini
dipilih Ibu Wardoyo, yang selalu menemani Inggit membesuk ke penjara
Sukamiskin. Dia menggunakan bahasa tubuh seperti menarik telinga,
menyilangkan jari, mengedipkan mata, menggerakan satu tangan, hingga
menggerakkan bagian muka. Semua kode itu sudah dipahami maknanya oleh
Bung Karno.
Selama menjalani masa hukuman dari Desember 1929 hingga dibebaskan
pada tanggal 31 Desember 1931, Soekarno tidak pernah dijenguk oleh kedua
orangtuanya yang berada Blitar. Menurut Ibu Wardoyo, orang tua mereka
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai tidak sanggup melihat
anak yang mereka banggakan itu berada di tempat hina yakni penjara dan
dalam posisi yang tidak berdaya.
Apalagi, saat di Sukamiskin, menurut Ibu Wardoyo, kondisi Soekarno
demikian kurus dan hitam. Namun Bung Karno beralasan, dia sengaja
membuat kulitnya menjadi hitam dengan bekerja dan bergerak di bawah
terik matahari untuk memanaskan tulang-tulangnya. Sebab di dalam sel
tidak ada sinar matahari, lembab, gelap, dan dingin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment