Garut adalah salah satu daerah di jawa Barat. Merupakan daerah yang
subur dan memiliki banyak tempat wisata. Salah satunya adalah Situ
bagendit. Dan cerita ini adalah mengenai asal-usul terbentuknya situ
Bagendit.
Pada jaman dahulu kala disebelah utara kota garut ada
sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di
desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah
mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu,
para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.
Hari masih
sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk
sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka
akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang
tengkulak bernama Nyai Endit.
Nyai Endit adalah orang terkaya di
desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup
menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya!
Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil
panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya
dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng
suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus
membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.
“Wah
kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya.
“Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum
si lintah darat itu?”
“Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada
yang denger!” sahut temannya. “Kita mah harus sabar! Nanti juga akan
datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada
orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
“Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit.
“Beres
Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi!
Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di
luar karena sudah tak muat lagi.”
“Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka
akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!!
Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil
panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang
membangkang!” kata Nyai Endit.
Benar saja, beberapa minggu
kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak
yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu
berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
“Aduh pak,
persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus
membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang
lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak?
Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah
kami keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu
siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan
terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh
iba.
“Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena
kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir
si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
“Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
“Oh,
maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek
tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti
nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek
ada perlu apa sama Nyi Endit?”
“Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
“Ah
percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek
lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
“Tidak
perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis
yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk
siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
“Aku
tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi
pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah
barang berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara
itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula
para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung
dihadang oleh para centeng.
“Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.
“Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
“Apa
peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya
beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
“Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”
“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
“Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.
“Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
“Hei
Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak
bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah
menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang
kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena
ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
“Ha ha ha … Kau mau
menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak!
Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
“Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
“Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.
Lalu
hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan.
Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup
hup! Masih tidak bergeming juga.
“Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng
itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh
tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
“Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut!
Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah.
Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur
air yang sangat deras.
“Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah
air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu
akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah berkata demikian si nenek
tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat
air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan
hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Di
desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang
menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal
dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa
melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah
penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
Situ bagendit
(short version)
Pada zaman dahulu hiduplah seorang janda yang kaya raya,bernama Nyai Endit.
Ia
tinggal di sebuah desa di daerah Garut, Jawa Barat. Nyai Endit
mempunyai harta yang berlimpah ruah. Akan tetapi, ia sangat kikir dan
tamak. Ia juga sangat sombong, terutama pada orang-orang miskin. Suatu
hari Nyai Endit mengadakan selamatan karena hartanya bertambah banyak.
Ketika selamatan itu berlangsung, datanglah seorang pengemis. Keadaan
pengemis itu sangat menyedihkan. Tubuhnya sangat kurus dan bajunya
compang-camping. “Tolong Nyai, berilah hamba sedikit makanan, ”pengemis
itu memohon. Melihat pengemis tua yang kotor dan compang-camping masuk
ke rumahnya, Nyai Endit itu marah dan mengusir pengemis itu. “Pengemis
kotor tidak tahu malu, pergi kau dari rumahku, ”bentak Nyai Endit.
Dengan sedih pengemis itu pergi. Keesokan harinya masyarakat disibukkan
dengan munculnya sebatang lidi yang tertancap di jalan desa. Semua orang
berusaha mencabut lidi itu. Namun,tidak ada yang berhasil. Pengemis tua
yang meminta makan pada Nyai Endit muncul kembali.
Dengan cepat ia
dapat mencabut lidi itu. Seketika keluarlah pancuran air yang sangat
deras. Makin lama air itu makin deras. Karena takut kebanjiran,penduduk
desa itu mengungsi. Nyai Endit yang kikir dan tamak tidak mau
meninggalkan rumahnya. Ia sangat sayang pada hartanya. Akhirnya, ia
tenggelam bersama dengan harta bendanya. Penduduk yang lain berhasil
selamat. Konon,begitulah asal mula danau yang di kemudian hari dinamakan
Situ Bagendit.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment